NAMA: IRA SARI
NIM: F17112008
MATA KUALIAH: AGAMA ISLAM
KELAS: B
FAKULATAS: IKIP
DOSEN :Dr. H. SUPRIADI, M.Ag
PENGERTIAN AL QUR’AN
Al-Qur’ān
(ejaan KBBI: Alquran, Arab: القرآن) adalah kitab suci agama Islam. Umat Islam percaya
bahwa Al-Qur'an merupakan puncak dan penutup wahyu Allah yang diperuntukkan
bagi manusia, dan bagian dari rukun iman, yang disampaikan kepada Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, melalui perantaraan Malaikat Jibril. Dan sebagai
wahyu pertama yang diterima oleh Rasulullah SAW adalah sebagaimana yang
terdapat dalam surat Al-'Alaq ayat 1-5
A.
Pengertian Al-Qur’an secara Etimologi
Secara etimologi,kata Al-Qur’an berarti
bacaan atau yang dibaca. Menurut ahli bahasa lafadz alqur’an adalah isim masdar
dengan arti isim maf’ul yang berarti yang dibaca. Firman Allah dalam Al-Qur’an
:
a. QS. Al-Qiyamaah ayat 17-18
(18)فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآَنَهُ (17)إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآَنَهُ
Artinya : “Sesungguhnya atas tanggungan kamilah
mengumpulkanya (di dadamu) dan membuat pandai membacanya. Apabila kamu telah
selesai membacakannya, maka ikutilah bacaan itu.” (QS. Al-Qiyamaah ayat
17-18)
b. QS. Fushilat ayat 3
(3) يَعْلَمُونَ لِقَوْمٍ عَرَبِيًّا قُرْآَنًا آَيَاتُهُ فُصِّلَتْ كِتَابٌ
Artinya : “Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam
bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui.”(QS. Fushilat : 3)
Mengenai
kata Al-Qur’an, ulama’ berbeda pendapat di antaranya sebagai berikut :
a. Imam Syafi’i
Imam
Syafi’i berpendapat bahwa Al-Qur’an bukan merupakan musytaq (kata bantuan) dari
kata apapun. Al-Qur’an merupakan kata khusus yang di berikan Allah. Demikian
halnya dengan kata injil dan taurat yang juga khusus di pergunakan sebagai nama
kitab Allah yang di turunkan kepada Isa a.s dan Musa a.s.
b. Imam Al Farra’
Imam
Al Farra’ berpendapat bahwa kata Al-Qur’an merupakan musytaq dari kata quroinun yang
berarti petunjuk atau indikator. Alasanya bahwa ayat-ayat Al-Qur’an satu dengan
yang lainya saling memberikan petunjuk.
c. Al-Asy’ari
Al-Asy’ari berpendapat bahwa Al-Qur’an merupakan musytaq dari kata qorona yang
artinya menggabungkan, yaitu menggabungkan surat-surat yang berjumlah 114 dan
ayatnya 6.666 di himpun dan di gabungkan dalam suatu mushaf.
berarti "bacaan" atau
"sesuatu yang dibaca berulang-ulang". Kata Al-Qur’an adalah bentuk
kata benda (masdar) dari kata kerja qara'a yang artinya membaca. Konsep
pemakaian kata ini dapat juga dijumpai pada salah satu surat Al-Qur'an sendiri
yakni pada ayat 17 dan 18 SurahAl-Qiy])
B. Pengertian Al-Qur’an secara Terminologi
B. Pengertian Al-Qur’an secara Terminologi
Pengertian
Al-Qur’an secara terminologi ada beberapa pengertian menurut para ulama’,
antara lain sebagai berikut :
a. Ulama Ushul fiqih
Al-Qur’an adalah Kalam Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad Saw. Dalam bahasa Arab yang dinukilkan kepada generasi
sesudahnya secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah, tertulis dalam mushaf
, dimulai dari surat al fatihah dan ditutup dengan surat an
Nas.
b. Abdul Wahab Khalaf
Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan
melalui ruhul amin (jibril) kepada Nabi Muhammad saw. Dengan bahasa Arab,
isinya dijamin kebenarannya, dan sebagai hujjah kerasulannya, undang-undang
bagi seluruh manusia dan petunjuk dalam beribadah serta dipandang ibadah dalam
membacanya, yang terhimpun dalam mushaf yang dimulai dari surat al fatihah dan
diakhiri dengan surat an Nas yang diriwayatkan kepada kita dengan jalan
mutawatir.
c. Syaikh Muhammad Abduh
Al-Qur’an adalah kalam mulia yang diturunkan
oleh allah kepada Nabi yang paling sempurna (Muhammad) ajarannya mencakup
keseluruha ilmu pengetahuan. Ia merupakan sumber yang mulai yang essensinya
tidak dimengerti kecuali bagi orang yang berfjiwa suci dan berakal cerdas.
d. Salim Muhsin
Al-Qur-an adalah firman Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW. yang ditulis dengan Mushaf -Mushaf dan diriwayatkan
kepada kita dengan jalan mutawatir dan membacanya dipandang ibadah serta
sebagai penentang ( bagi yang tidak percaya).
e. Hasby Al-Shidiqy dan Departemen
Republik Indonesia
Al-Qur-an adalah Kalam Allah SWT. yang
nerupakan mukjizat yang diturunkan atau diwahyukan kepada Nabi Muhammad dan
membacanya sebagai ibadah.
.
PENGERTIAN AL-QUR’AN MENURUT KEBANYAKAN KITAB
ULUMUL QUR’AN SEBAGAI BERIKUT:
القرآن كلام الله المنزل على محمد صلى الله عليه وسلم للاعجاز بسورة منه والبيان العقائد والاحكام وغيرهما
القرآن كلام الله المنزل على محمد صلى الله عليه وسلم للاعجاز بسورة منه والبيان العقائد والاحكام وغيرهما
AL-QUR’AN adalah: firman ALLAH SWT yang diturunkan kepada NABI MUHAMMAD
SAW untuk mengalahkan musuh dengan satu surah darinya,dan menerangkan ‘aqidah
‘aqidah dan hukum hukum dll.
sebagian melengkapi dengan menyebutkan
AL-QUR’AN adalah firman ALLAH SWT yang diturunkan kepada NABI MUHAMMAD SAW
melalui malaikat jibril yang mempnyai gelar ruhul qudus yang diturunkan secara
berangsur angsur untuk mengalahkan musuh dengan satu surah darinya yang
menerangkan ‘aqidah ‘aqidah dan hukum hukum dan lain lain. yang diberi pahala
siapa yang membacanya dan yang mendengarkannya.
AL-QUR’AN adalah pegangan umat islam
yang menunjuki umat kepada jalan yang lurus serta diridlai tuhan semesta alam
(ALLAH SWT)
AL-QUR’AN adalah firman ALLAH SWT yang diturunkan/diwahyukan
kepada nabi muhammad saw.yang menjadi peringatan,sebagaimana
firman ALLAH SWT dalam surat thaha ayat 2-3
ما انزلنا عليك القرآن لتشقى
الا تذكرة لمن يخشى
ما انزلنا عليك القرآن لتشقى
الا تذكرة لمن يخشى
artinya:
kami tidak menurunkan al-qur’an ini kepadamu agar kamu menjadi susah.
tetapi sebagai peringatan bagi orang orang yang takut (kepada allah)
kami tidak menurunkan al-qur’an ini kepadamu agar kamu menjadi susah.
tetapi sebagai peringatan bagi orang orang yang takut (kepada allah)
AL-QUR’AN menerangkan hukum hukum
seperti kewajiban melaksanakan shalat dan menunaikan zakat.
sebagaimana firman ALLAH SWT dalam surat nisa’ ayat 77
sebagaimana firman ALLAH SWT dalam surat nisa’ ayat 77
واقيمواالصلوة
وآتواالزكوة
artinya:
dan mendirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat
AL-QUR’AN diturunkan dengan bahasa arab dan tidak boleh dibaca dan ditulis dengan bahasa ajam (bahasa selain bahasa arab)
ALLAH swt berfirman dalam surat zukhruf ayat 3
dan mendirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat
AL-QUR’AN diturunkan dengan bahasa arab dan tidak boleh dibaca dan ditulis dengan bahasa ajam (bahasa selain bahasa arab)
ALLAH swt berfirman dalam surat zukhruf ayat 3
انا جعلناه قرآنا عربيا لعلكم تعقلون
artinya:
sesungguhnya kami menjadikan AL-QUR’AN dalam bahasa arab supaya kamu memahami (nya).
AL-QUR’AN Dijaga langsung oleh ALLAH.
sebagaimana firman ALLAH dalam surat al-hijr ayat 9
sesungguhnya kami menjadikan AL-QUR’AN dalam bahasa arab supaya kamu memahami (nya).
AL-QUR’AN Dijaga langsung oleh ALLAH.
sebagaimana firman ALLAH dalam surat al-hijr ayat 9
انا نحن نزلنا الذكر وانا له لحافظون
artinya:
sesungguhnya kamilah yang menurunkan al-dzikro (al-qur’an) dan sesungguhnya kami pulalah yang memeliharanya.
sesungguhnya kamilah yang menurunkan al-dzikro (al-qur’an) dan sesungguhnya kami pulalah yang memeliharanya.
al-qur’an sebagai obat semua penyakit,baik
penyakit lahir maupun penyakit bathin.
namun sebagian orang yang masih dalam pemahaman ilmunya rendah dan bukan termasuk islam sunni ada yang tidak meyakini al-qur’an bisa menyembuhkan atau menjadi obat penyakit dhahir/lahiriyah.
allah saw berfirman dalam surat al-isro’ ayat 82
namun sebagian orang yang masih dalam pemahaman ilmunya rendah dan bukan termasuk islam sunni ada yang tidak meyakini al-qur’an bisa menyembuhkan atau menjadi obat penyakit dhahir/lahiriyah.
allah saw berfirman dalam surat al-isro’ ayat 82
وننزل من القرآن ما هو شفاء ورحمة للمؤمنين
artinya:
dan kami turunkan dari al-qur’an suatu yang menjadi obat dan rahmat bagi orang orang yang beriman.
dan kami turunkan dari al-qur’an suatu yang menjadi obat dan rahmat bagi orang orang yang beriman.
1. Pengertian Hadits
Menurut
bahasa kata hadits memiliki arti;
1) al jadid minal asyya (sesuatu yang baru), lawan dari qodim. Hal ini mencakup sesuatu
(perkataan), baik banyak ataupun sedikit.
2) Qorib (yang dekat)
3) Khabar (warta), yaitu sesuatu yang
dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain dan ada
kemungkinan benar atau salahnya. Dari
makna inilah diambil perkataan hadits Rasulullah saw. Jamaknya adalah hudtsan, hidtsan dan ahadits. Jamak ahadits-jamak yang tidak
menuruti qiyas dan jamak yang syad-inilah yang dipakai jamak hadits yang
bermakna khabar dari Rasulullah saw. Oleh karena itu, hadist-hadits Rasul
dikatakan ahadits al Rosul bukan hudtsan al Rosul atau yang lainnya.
Ada juga yang berpendapat ahadits bukanlah jamak dari hadits,
melainkan merupakan isim jamaknya.
Dalam hal ini, Allah juga menggunakan kata hadits dengan
arti khabar, dalam firman-Nya;
فليأتوا بحديث مثله إن كانوا صادقين.
“maka hendaklah mereka mendatangkan khabar
yang sepertinya jika mereka orang yang benar” (QS. At Thur; 24).
Adapun hadits menurut istilah ahli hadits hampir sama (murodif)dengan
sunah, yang mana keduanya memiliki arti segala sesuatu yang berasal dari Rasul,
baik setelah dingkat ataupun sebelumnya. Akan tetapi kalau kita memandang
lafadz hadits secara umum adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi
Muhammad saw. setelah diangkat menjadi nabi, yang berupa ucapan, perbuatan, dan
taqrir beliau. Oleh sebab itu, sunah lebih umum daripada hadits.
Menurut ahli ushul hadits adalah segala pekataan Rosul,
perbuatan dan taqrir beliau, yang bisa bisa dijadikan dalil bagi hukum syar’i. Oleh karena itu, menurut ahli ushul
sesuatu yang tidak ada sangkut pautnya dengan hukum tidak tergolong hadits,
seperti urusan pakaian.
1.
Pengertian Hadis Secara Etimologis
Hadis atau al- hadits menurut bahasa
adalah al- jadid yang artinya (sesuatu yang baru) artinya yang berarti
menunjukkan kepada waktu yang dekat atau waktu yang singkat seperti حَدِيْثُ العَهْدِ فِى أْلإِسْلَامِ (orang yang baru
masuk/ memeluk islam). Hadis juga sering disebut dengan al- khabar, yang
berarti berita, yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang
kepada orang lain, sama maknanya dengan hadis.
2. Pengertian
Hadis Secara Terminologi
Sedangkan pengertian hadis menurut istilah
(terminologi), Para Ahli memberikan definisi (ta’rif) yang berbeda-beda sesuai
dengan latar belakang disiplin ilmunya.
a.
Pengertian
hadis menurut Ahli Hadis, ialah:
اَقْوَالُ النبي ص م وافعالهُ وَاَحْوَا لُهُ
Artinya: “Segala perkataan Nabi, perbuatan, dan hal ihwalnya.”
Yang dimaksud dengan hal ihwal ialah segala yang diriwayatkan dari Nabi SAW. Yang berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaan.
Ada juga yang memberikan pengertian lain, yakni:
مَاأُضِيْفَ إلى النبي ص م قَولاً أو فِعْلاً أوْتَقْرِيْرًا اَوْ صِفَةً
Artinya: “Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifat beliau”.
Sebagian Muhaditsin berpendapat bahwa pengertian hadis diatas merupakan pengertian yang sempit. Menurut mereka, hadis mempunyai cakupan pengertian yang lebih luas, tidak terbatas pada apa yang disandarkan kepada Nabi SAW. (hadis marfu’) saja, melainkan termasuk juga yang disandarkan kepada para sahabat (hadis mauquf), dan tabi’in (hadis maqtu’), sebagaimana disebut oleh Al- Tirmisi:
Artinya: “Bahwasanya hadis itu bukan hanya untuk sesuatu yang marfu’, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, melainkan bisa juga untuk sesuatu yang maukuf, yaitu yang disandarkan kepada sahabat dan yang maqtu’ yaitu yang disandarkan kepada tabi’in.”
b.
Pengertian
hadis menurut para ulama ushul, sementara para ulama ushul memberikan
pengertian hadis adalah:
أَقْوَا لُهُ واَفْعَا لُهُ وتََقْرِِيْرَاتُهُ التى تَثْبُتُ الأََ حْكاَمُ و تُقَرَِّرُهاَ
Artinya: “Segala perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan taqrirnya yang berkaitan dengan hukum syara’ dan ketetapannya”.
Berdasarkan pengertian hadis menurut ahli ushul ini jelas bahwa hadis adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Saw. Baik ucapan, perbuatan maupun ketetapan yang berhubungan dengan hukum atau ketentuan-ketentuan Allah yang disyari’atkan kepada manusia. Selain itu tidak bisa dikatakan hadis. Ini berarti bahwa ahli ushul membedakan diri Muhammad sebagai rasul dan sebagai manusia biasa. Yang dikatan hadis adalah sesuatu yang berkaitan dengan misi dan ajaran Allah yang diemban oleh Nabi Muhammad SAW. Sebagai Rasulullah SAW. Inipun, menurut mereka harus berupa ucapan dan perbuatan beliau serta ketetapan-ketetapannya. Sedangkan kebiasaan-kebiasaannya, tata cara berpakaian, cara tidur dan sejenisnya merupakan kebiasaan manusia dan sifat kemanusiaan tidak dapat dikategorikan sebagai hadis.
Seluruh umat islam, baik yang ahli naqli
ataupun yang ahli akal telah sepakat bahwa hadits merupakan dasar hukum islam,
yang merupakan salah satu dari sumber hukum islam. Ia menempati kedudukannya
yang sangat penting setelah Al-Quran. Umat islam diwajibkan mengikuti hadits
sebagaimana diwajibkan mengikuti Al-Quran. Dengan demikian antara hadits dan
Al-Quran memiliki kaitan yang sangat erat, yang satu sama lain tidak bisa dipisahkan
atau berjalan sendiri-sendiri.Menurut Muhammad ajjal Al-Khatib,
bahwa Al-Quran dan hadits merupakan dua sumber hukum syariah islam yang tetap,
yang orang muslim tidak mampu memahami syariat islam dengan tanpa kembali
kepada dua sumber tersebut. Mujtahid dan orang dalam pun tidak diperbolehkan
hanya mencakupkan diri denan salah satu dari keduanya.
Banyak
ayat Al-Quran dan hadits yang memberikan pengertian bahwa hadits itu merupakan
salah satu sumber hukum islam selain Al-quran yang wajib diikuti sebagaimana
mengikuti al-quran, baik dalam bentuk awamir ataupun nawaminya.
Pengertian ra’yu
Yang dimaksud dengan Ra’yu ialah ijtihad yang didasarkan
pada dalil-dalil yang shohih, kaidah yang murni dan tepat.bisa diikuti serta
sewajarnya digunakan oleh orang yang hendak mendalami tafsir Al-Qur’an atau
mendalami pengertiannya.5 Tidaklah yang dimaksud dengan ra’yu ini dengan
menafsirkan Al-Quran berdasarkan kata hati atau kehendaknya. Al- Qurtubi
berkata “barang siapa yang menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan imajinasinya (yang
tepat menurut pandangannya tanpa berdasrkan kaidah-kaidah) maka ia adalah orang
yang keliru dan tercela.” Dalam sebuah hadis diriwayatkan
من كذّب عليّ متعمدا فليتبوُأ مقعده من
نار, ومن قال فى القران برأيه فليتبوّ أ مقعده من النار. ( رواه التر مذ )
Artinya
“Barang siapa mendustakan secara sengaja niscaya ia harus
bersedia menepatkan dirinya di neraka. Dan barang siapa yang menafsirkan
Al-Qur’an berdasarkan Ra’yu atau pendapatnya maka hendaklah ia bersedia
menepatkan dirinya di neraka .”
( H.R.
Turmuzi dan Ibnu Abbas )
Dan
sabdanya pula
من قال فى القران برأ يه فاصاب فقد
اخطأ
Artinya
“Dan
barang siapa yang menafsirkan Al-Qur’an dengan Ra’yunya dan kebetulan tepat,
niscaya ia telah melakukan kesalahan.” (H.R. Abi Dawud dari Jundab)
Imam
Al-Qurtuby6 mengatakan bahwasannya hadis Ibnu Abbas tersebut memiliki dua
penafsiran
Pertama : Barang siapa yang berpendapat dalam persoalan
Al-Qur’an yang pelik dengan tidak berdasarkan pengetahuan dari mazhab sahabat
atau tabi’in berarti menentang Allah
Kedua : Barang siapa yang mengatakan tentang Al-Qur’an
suatu pendapat sedang ia mengetahui bahwa yang benar adalah pendapat yang lain,
maka ia hanya bersedia menepatkan diri di neraka.
Al-Qur’an
merupakan sumber hukum dalam Islam.
Kata sumber dalam artian ini hanya dapat digunakan untuk Al-Qur’an maupun sunnah, karena memang keduanya merupakan wadah yang dapat ditimba hukum syara’, tetapi tidak mungkin kata ini digunakan untuk ijma’ dan qiyas karena memang keduanya merupakan wadah yang dapat dotimba norma hukum. Ijma’ dan qiyas juga termasuk cara dalam menemukan hukum. Sedangkan dalil adalah bukti yang melengkapi atau memberi petunjuk dalam Al-Qur’an untuk menemukan hukum Allah, yaitu larangan atau perintah Allah.
dalam Al- Apabila terdapat suatu kejadian, maka pertama kali yang harus dicari sumber hukum Qur’an seperti macam-macam hukum di bawah ini yang terkandung dalam Al-Qur’an, yaitu:
1. Hukum-hukum akidah (keimanan) yang bersangkut paut dengan hal-hal yang harus dipercaya oleh setiap mukallaf mengenai malaikatNya, kitabNya, para rasulNya, dan hari kemudian (Doktrin Aqoid).
2. Hukum-hukum Allah yang bersangkut paut dengan hal-hal yang harus dijadikan perhiasan oleh setiap mukallaf berupa hal-hal keutamaan dan menghindarkan diri dari hal kehinaan (Doktrin Akhlak).
3. Hukum-hukum amaliah yang bersangkut paut dengan tindakan setiap mukallaf, meliputi masalahucapan perbuatan akad (Contract) dan pembelanjaan pengelolaan harta benda, ibadah, muamalah dan lain-lain.
Untuk mengetahui lebih jauh penulis mencoba membahasnya dengan sebuah makalah yang berjudul
Kata sumber dalam artian ini hanya dapat digunakan untuk Al-Qur’an maupun sunnah, karena memang keduanya merupakan wadah yang dapat ditimba hukum syara’, tetapi tidak mungkin kata ini digunakan untuk ijma’ dan qiyas karena memang keduanya merupakan wadah yang dapat dotimba norma hukum. Ijma’ dan qiyas juga termasuk cara dalam menemukan hukum. Sedangkan dalil adalah bukti yang melengkapi atau memberi petunjuk dalam Al-Qur’an untuk menemukan hukum Allah, yaitu larangan atau perintah Allah.
dalam Al- Apabila terdapat suatu kejadian, maka pertama kali yang harus dicari sumber hukum Qur’an seperti macam-macam hukum di bawah ini yang terkandung dalam Al-Qur’an, yaitu:
1. Hukum-hukum akidah (keimanan) yang bersangkut paut dengan hal-hal yang harus dipercaya oleh setiap mukallaf mengenai malaikatNya, kitabNya, para rasulNya, dan hari kemudian (Doktrin Aqoid).
2. Hukum-hukum Allah yang bersangkut paut dengan hal-hal yang harus dijadikan perhiasan oleh setiap mukallaf berupa hal-hal keutamaan dan menghindarkan diri dari hal kehinaan (Doktrin Akhlak).
3. Hukum-hukum amaliah yang bersangkut paut dengan tindakan setiap mukallaf, meliputi masalahucapan perbuatan akad (Contract) dan pembelanjaan pengelolaan harta benda, ibadah, muamalah dan lain-lain.
Untuk mengetahui lebih jauh penulis mencoba membahasnya dengan sebuah makalah yang berjudul
“AL-QUR’AN
SEBAGAI SUMBER HUKUM FIQIH”.
Atas dasar
bahwa hukum syara’ itu adalah kehendak Allah tentang tingkah laku manusia
mukallaf, maka dapat dikatakan bahwa pembuat hukum (law gider) adalah Allah
SWT. KetentuanNya terdapat dalam kumpulan wahyunya yang disebut Al Qur’an.
Dengan demikian ditetapkan bahwa Al Qur’an itu sumber utama bagi hukum Islam,
sekaligus juga sebagai dalil utama fiqih. Al-Qur’an itu membimbing dan memberikan
petunjuk untuk menemukan hukum-hukum yang terkandung dalam sebagian
ayat-ayatnya.
Karena kedudukan Al-Qur’an itu sebagai sumber utama dan pertama bagi penempatan hukum, maka bila seseorang ingin menemukan hukum untuk suatu kejadian, tindakan pertama yang harus ia lakukan adalah mencari jawab penyelesaiannya dari Al-Qur’an. Selama hukumnya dapat diselesaikan dengan Al-Qur’an, maka ia tidak boleh mencari jawaban lain di luar Al-Qur’an.
Selain itu, sesuai dengan kedudukan Al-Qur’an sebagai sumber utama atau pokok hukum Islam, berarti al-Quran itu menjadi sumber dari segala sumber hukum. Karena itu juka akan menggunakan sumber hukum lain di luar Al-Qur’an, maka harus sesuai dengan petujuk Al-Qur’an dan tidak boleh melakukan sesuatu yang bertentangan dengan Al-Qur’an. Hal ini berarti bahwa sumber hukum selain Al-Qur’an tidak boleh menyalahi apa-apa yang telah ditetapkan Al-Qur’an.
Kekuatan hujjah Al-Qur’an sebagai sumber dan dalil hukum fiqh terkandung dalam ayat al-qur’an yang menyuruh umat manusia mematuhi Allah. Hal ini disebutkan lebih dari 30 kali dalam Al-Qur’an. Perintah mematuhi Allah itu berarti mengikuti apa-apa yang difirmankanNya dalam Al-Qur’an.
Karena kedudukan Al-Qur’an itu sebagai sumber utama dan pertama bagi penempatan hukum, maka bila seseorang ingin menemukan hukum untuk suatu kejadian, tindakan pertama yang harus ia lakukan adalah mencari jawab penyelesaiannya dari Al-Qur’an. Selama hukumnya dapat diselesaikan dengan Al-Qur’an, maka ia tidak boleh mencari jawaban lain di luar Al-Qur’an.
Selain itu, sesuai dengan kedudukan Al-Qur’an sebagai sumber utama atau pokok hukum Islam, berarti al-Quran itu menjadi sumber dari segala sumber hukum. Karena itu juka akan menggunakan sumber hukum lain di luar Al-Qur’an, maka harus sesuai dengan petujuk Al-Qur’an dan tidak boleh melakukan sesuatu yang bertentangan dengan Al-Qur’an. Hal ini berarti bahwa sumber hukum selain Al-Qur’an tidak boleh menyalahi apa-apa yang telah ditetapkan Al-Qur’an.
Kekuatan hujjah Al-Qur’an sebagai sumber dan dalil hukum fiqh terkandung dalam ayat al-qur’an yang menyuruh umat manusia mematuhi Allah. Hal ini disebutkan lebih dari 30 kali dalam Al-Qur’an. Perintah mematuhi Allah itu berarti mengikuti apa-apa yang difirmankanNya dalam Al-Qur’an.
Hukum Yang Terkandung dalam Al-Qur’an
Sesuai dengan defenisi hukum syara’ sebagimana telah dijelaskan, hanya sebagian kecil dari ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung hukum, yaitu yang menyangkut perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan berbuat dan ketentuan yang ditetapkan. Hukum-hukum tersebut mengatur kehidupan manusia, baik dalam hubungannya dengan Allah SWT maupun dalam hubungannya dengan manusia dan alam sekitarnya.
Secara garis besar hukum-hukum dalam al-Qur’an dapat dibagi tiga macam:
Pertama, hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT mengenai apa-apa yang harus diyakini dan yang ahrus dihindari sehubungan dengan keyakinannya, seperti keharusan mengesakan Allah dan larangan mempersekutukan-Nya. Hukum yang menyangkut keyakinan ini disebut hukum I’tiqadiyah yang dikaji dalam “Ilmu Tauhid” atau Ushuluddin”.
Kedua, hukum-hukum yang mengatur hubungan pergaulan manusia mengenai sifat-sifat baik yang harus dimiliki dan sifat-sifat buruk yang harus dijauhi dala kehidupan bermasyarakat. Hukum dalam bentuk ini disebut hukum khuluqiyah yang kemudian dikembangkan dalam “Ilmu Akhlak”.
Ketiga, hukum-hukum yang menyangkut tindak-tanduk manusia dan tingkah laku lahirnya dalam hubungan dengan Allah SWT, dalam hubungan dengan sesama manusia, dan dalam benyuk apa-apa yang harus dilakukan atau harus dijauhi. Hukum ini disebut hukum amaliyah yang pembahasannya dikembangkan dalam “Ilmu Syari’ah”.
Hukum amaliyah tersebut, secara garis besar terbagi dua:
1. Hukum yang mengatur tingkah laku dan perbuatan lahiriah manusia dalam hubungannya dengan Allah SWT, seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Hukum ini disebut hukum ibadah dalam arti khusus.
2. Hukum-hukum yang mengatur tingkah laku lahiriah manusia dalam hubungannya dengan manusia atau alam sekitarnya; seperti jual beli, kawin, pembunuhan, dan lainnya. Hukum-hukum ini disebut hukum mu’amalah dalam arti umum.
Sesuai dengan defenisi hukum syara’ sebagimana telah dijelaskan, hanya sebagian kecil dari ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung hukum, yaitu yang menyangkut perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan berbuat dan ketentuan yang ditetapkan. Hukum-hukum tersebut mengatur kehidupan manusia, baik dalam hubungannya dengan Allah SWT maupun dalam hubungannya dengan manusia dan alam sekitarnya.
Secara garis besar hukum-hukum dalam al-Qur’an dapat dibagi tiga macam:
Pertama, hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT mengenai apa-apa yang harus diyakini dan yang ahrus dihindari sehubungan dengan keyakinannya, seperti keharusan mengesakan Allah dan larangan mempersekutukan-Nya. Hukum yang menyangkut keyakinan ini disebut hukum I’tiqadiyah yang dikaji dalam “Ilmu Tauhid” atau Ushuluddin”.
Kedua, hukum-hukum yang mengatur hubungan pergaulan manusia mengenai sifat-sifat baik yang harus dimiliki dan sifat-sifat buruk yang harus dijauhi dala kehidupan bermasyarakat. Hukum dalam bentuk ini disebut hukum khuluqiyah yang kemudian dikembangkan dalam “Ilmu Akhlak”.
Ketiga, hukum-hukum yang menyangkut tindak-tanduk manusia dan tingkah laku lahirnya dalam hubungan dengan Allah SWT, dalam hubungan dengan sesama manusia, dan dalam benyuk apa-apa yang harus dilakukan atau harus dijauhi. Hukum ini disebut hukum amaliyah yang pembahasannya dikembangkan dalam “Ilmu Syari’ah”.
Hukum amaliyah tersebut, secara garis besar terbagi dua:
1. Hukum yang mengatur tingkah laku dan perbuatan lahiriah manusia dalam hubungannya dengan Allah SWT, seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Hukum ini disebut hukum ibadah dalam arti khusus.
2. Hukum-hukum yang mengatur tingkah laku lahiriah manusia dalam hubungannya dengan manusia atau alam sekitarnya; seperti jual beli, kawin, pembunuhan, dan lainnya. Hukum-hukum ini disebut hukum mu’amalah dalam arti umum.
KEDUDUKAN HADITS SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM
Seluruh umat islam, baik yang ahli naqli ataupun yang ahli akal
telah sepakat bahwa hadits merupakan dasar hukum islam, yang merupakan salah
satu dari sumber hukum islam. Ia menempati kedudukannya yang sangat penting
setelah Al-Quran. Umat islam diwajibkan mengikuti hadits sebagaimana diwajibkan
mengikuti Al-Quran. Dengan demikian antara hadits dan Al-Quran memiliki kaitan
yang sangat erat, yang satu sama lain tidak bisa dipisahkan atau berjalan
sendiri-sendiri.
Menurut Muhammad ajjal Al-Khatib, bahwa Al-Quran dan
hadits merupakan dua sumber hukum syariah islam yang tetap, yang orang muslim
tidak mampu memahami syariat islam dengan tanpa kembali kepada dua sumber
tersebut. Mujtahid dan orang dalam pun tidak diperbolehkan hanya mencakupkan
diri denan salah satu dari keduanya.
Banyak ayat Al-Quran dan hadits yang memberikan pengertian bahwa
hadits itu merupakan salah satu sumber hukum islam selain Al-quran yang wajib
diikuti sebagaimana mengikuti al-quran, baik dalam bentuk awamir ataupun
nawaminya.
2. Dalil Hadits
Rasulallah SAW
Dalam salah satu pesan rasulallah , berkenaan dengan keharusan
menjadikan hadits sebagai sumber hukum atau pedoman hidup disamping Al-Quran
sebagai pedoman utamanya. Seperti sabda Nabi Muhammad SAW., sebagai berikut :
“ Aku tinggalkan dua pusaka pada kalian. Jika
kalian berpegang pada keduannya, niscaya tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah
(Al-quran) dan sunah Rasul-Nya “
(HR.Al-Hakim dari Abu Hurairah)
Hadits tersebut menunjukan bahwa nabi SAW diberi al-quran dan
sunnah, dan mewajibkan kita berpegang teguh pada keduanya, serta mengambil yang
ada pada sunnah seperti mengambil pada al-quran. Masih banyak hadits
yangmenegaskan tentang kewajiban mengikuti perintah dan tuntutan Nabi SAW.
3. Kesepakatan
Ulama ( Ijma
)
Seluruh umat islam telah sepakat untuk menjadikan dan mengamalkan
hadits sebagai salah satu dasar hukum beramal, karena sesuai dengan yang
dikehendaki oleh Allah SWT. Disamping itu penerimaan mereka terhadap hadits
sama seperti penerimaan mereka terhadap Al-Quran, ketika keduanya sama-sama
dijadikan sebagai sumber huku islam.
Banyak peristiwa menunjukan adanya kesepakatan menggunakan hadits
sebagai sumber hukum islam, antara lain : ketika Abu Bakar dibaiiat menjadi
khalifah, ia pernah berkata “ saya tidak meninggalkan sedikitpun
sesuatu yang diamalkan oleh rasulallah, sesungguhnya saya takut tersesat bila
meninggalkan perintahnya”.
Pembahasan tentang hadits sebagai dasar hukum syariat islam
dilakukan secara luas dalam semua kitab ushuf fiqh dan dari semua mazhab,
sedemikian pentingnya sampai Al-Auzyi mengatakan bahwa “Al-quran lebih
membutuhkan hadits disbanding dengan kebutuhan hadits terhadap Al-quran”.
Menurut As-Saukani : singkatnya keberadaan sebagai hujjah (sumber
hukum islam) serta wewenang dalam penetapan hukum sudah merupakan keharusan
dalam agama, tak seorangpun berbeda paham tentangnya kecuali mereka yang tidak
memiliki cukup ilmu dalam islam.
CONTOHNYA
JAWABAN NOMOR 2
/ istilah, para ahli fiqih
mengartikan secara lahir dan hakiki. Secara lahiriah shalat berarti beberapa
ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam, yang
dengannya kita beribadah kepada Allah menurut syarat – syarat yang telah
ditentukan (Sidi Gazalba,88)
Adapun secara hakikinya ialah “berhadapan hati (jiwa) kepada Allah, secara yang mendatangkan takut kepada-Nya serta menumbuhkan di dalam jiwa rasa kebesarannya dan kesempurnaan kekuasaan-Nya” atau “mendahirkan hajat dan keperluan kita kepada Allah yang kita sembah dengan perkataan dan pekerjaan atau dengan kedua – duanya” (Hasbi Asy-Syidiqi, 59)
Dalam pengertian lain shalat ialah salah satu sarana komunikasi antara hamba dengan Tuhannya sebagai bentuk, ibadah yang di dalamnya merupakan amalan yang tersusun dari beberapa perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbiratul ikhram dan diakhiri dengan salam, serta sesuai dengan syarat dan rukun yang telah ditentukan syara’ (Imam Bashari Assayuthi, 30)
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa shalat adalah merupakan ibadah kepada Tuhan, berupa perkataan denga perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam menurut syarat dan rukun yang telah ditentukan syara”. Juga shalat merupakan penyerahan diri (lahir dan bathin) kepada Allah dalam rangka ibadah dan memohon ridho-Nya.
SYARAT SYAH SHALAT
1. Beragama Islam
2. Memiliki akal yang waras alias tidak gila atau autis
3. Berusia cukup dewasa
4. Telah sampai dakwah islam kepadanya
5. Bersih dan suci dari najis, haid, nifas, dan lain sebagainya
6. Sadar atau tidak sedang tidur
Adapun secara hakikinya ialah “berhadapan hati (jiwa) kepada Allah, secara yang mendatangkan takut kepada-Nya serta menumbuhkan di dalam jiwa rasa kebesarannya dan kesempurnaan kekuasaan-Nya” atau “mendahirkan hajat dan keperluan kita kepada Allah yang kita sembah dengan perkataan dan pekerjaan atau dengan kedua – duanya” (Hasbi Asy-Syidiqi, 59)
Dalam pengertian lain shalat ialah salah satu sarana komunikasi antara hamba dengan Tuhannya sebagai bentuk, ibadah yang di dalamnya merupakan amalan yang tersusun dari beberapa perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbiratul ikhram dan diakhiri dengan salam, serta sesuai dengan syarat dan rukun yang telah ditentukan syara’ (Imam Bashari Assayuthi, 30)
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa shalat adalah merupakan ibadah kepada Tuhan, berupa perkataan denga perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam menurut syarat dan rukun yang telah ditentukan syara”. Juga shalat merupakan penyerahan diri (lahir dan bathin) kepada Allah dalam rangka ibadah dan memohon ridho-Nya.
SYARAT SYAH SHALAT
1. Beragama Islam
2. Memiliki akal yang waras alias tidak gila atau autis
3. Berusia cukup dewasa
4. Telah sampai dakwah islam kepadanya
5. Bersih dan suci dari najis, haid, nifas, dan lain sebagainya
6. Sadar atau tidak sedang tidur
Syarat
sah pelaksanaan sholat adalah sebagai berikut ini :
1. Masuk waktu sholat
2. Menghadap ke kiblat
3. Suci dari najis baik hadas kecil maupun besar
4. Menutup aurat
1. Masuk waktu sholat
2. Menghadap ke kiblat
3. Suci dari najis baik hadas kecil maupun besar
4. Menutup aurat
CARA MENGERJAKAN SHALAT
1. Pertama kali, berdirilah dengan posisi tegak sambil mengadap
Kiblat. Berniatlah untuk melaksanakan shalat , sesuai dengan shalat yang
akan anda kerjakan (shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya` atau Shubuh).
1.
Kemudian Bacalah takbiratul ihram (Allāhu Akbar) dan bersamaan
dengan itu angkatlah kedua tangan Anda seperti terlihat di gambar.
2.
Membaca Doa Iftitah (rakaat pertama)
3.
Allahu Akbaru kabira walhamdu lillahi kathira wasubhanallahhi
bukratau waasila. Wajjahtu wajhia lillazi fataras sama wati wal ardha hanifam
muslimaw wama ana minal musyrikin. Inna solati wanusuki wamahyaya wammamati
lillahi rabbil'alamin. La syarikalahu wabiza lika umirtu wa ana minal muslimin.
4.
Kemudian Bacalah surah Al-Fātihah sebagai berikut:
5.
(Bismillāhirrohmānirrohīm ▪
Alhamdulillāhi robbil ‘Ālāmīn ▪
Arrohmānirrohīm ▪
Māliki yaumiddīn ▪ Iyyāka na’budu wa iyyāka nasta’īn ▪ Ihdinash shirōthol mustaqīm ▪ Shirōthol ladzīna an’amta ‘alaihim ghoiril maghdhūbi ‘alaihim
waladh dhōllīn)
6.
Kemudian bacalah satu surah sempurna dari sarah-surah Al Quran. Seperti Al- Ikhlas
7.
(Qul huwallōhu ahad ▪ Allōhush shamad ▪ Lam yalid wa lam yūlad ▪ Wa lam yakul lahū kufuwan ahad
8.
2. Setelah selesai membaca surat, kedua tangan
diangkat sambil membaca “Allahuu Akbar” lalu ruku’lah (punggung dan dan kepala
sama rata) dan baca:
9.
(Subhā robbiyal ‘azhīmi wa bihamdih) 3x.
3. Kemudian bangunlah dari
ruku’ dengan mengangkat kedua tangan setinggi telinga sambil membaca:
10.
(Sami’allōhu liman hamidah)Dan dilanjutkan
membaca
11.
"rabbanaa lakal hamd"
12.
4. Setelah itu, sujudlah (sambil membaca “Allahuu Akbar”) dan membaca:
13.
(Subhāna rabbiyal a’lā wa bihamdih)3x
14.
5.Kemudian duduklah di antara dua sujud seraya membaca (“Allahuu
Akbar” ) di lanjutkan membaca :
15.
" allaahummaghfirlii warhamnii wajburnii warzuqnii warfa'nii
"
16.
17.
6. Kemudian sujudlah untuk kedua kalinya seraya membaca (“Allahuu
Akbar” ) dan membacabacaan sujud
18.
(Subhāna rabbiyal a’lā wa bihamdih)3x
19.
7. Duduklah sejenak setelah bangun dari sujud dan berdiri untuk
melanjutkan rakaat berikutnya. Dalam posisi berdiri itu, bacalah surah
Al-Fātihah dan satu surah dari surah-surah Al-Quran. Selanjutnya sama dengan
yang di atas. Setelah sujud kedua pada rakaat kedua maka duduk tahiyat awal.
20.
8. Duduk Tahiyat Awal
21.
Pada duduk tahiyat awal ini (rakaat kedua) kaki kiri dimasukan
kebawah kaki kanan sambil membaca
22.
(Asyhadu an lā ilāha illallōhu wahdahū lā syarīka lah ▪
Wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhū wa rasūluh ▪
Allōhumma shalli ‘alā Muhammadin
wa Āli Muhammad)
23.
9. Duduk tahiyat akhir
24.
Duduk pada tahiyat akhir ini (rakaat terakhir) sama pada tahiyat
awal sedangkan jari telunjuk tetap diisyaratkan dan terdapat tambahan shalawat
nabi Muhammad, sebagai berikut :
25.
"allaahumma shalli 'ala muhammad wa 'alaa aali muhammad kamaa
shallaita 'alaa aali ibrahiim, innaka hamiidum majiid. allaahumma baarik 'alaa
muhammad wa 'alaa aali muhammad kamaa barakta 'alaa aali ibrahiim, innaka
hamiidum majiid."
26.
10. Di lanjutkan Berdo'a berlindung dari empat (4) hal.
Hal ini dilakukan pada duduk taahiyat akhir saja.
Hal ini dilakukan pada duduk taahiyat akhir saja.
27.
"Allaahumma innii a'uudzubika min 'adzaabi jahannama wa min
'adzaabil qabri wa min fitnatil mahyaa wal mamaat wa min fitnatil masiihid
dajjaal."
28.
11. Mengucap salam
29.
Sewaktu mengucap salam tubuh tetap dalam keadaan duduk tahiyat
akhir lalu memalingkan muka ke kanan dan kiri sambil mengucap.
30.
"As Salamu'alaikum Wa Rahmatullahi Wa Barakatuh--- As
Salamu'alaikum Wa Rahmatullahi Wa Barakatuh"
31.
Dzikir Setelah Sholat
Dari Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz kepada seluruh orang melihat tulisan ini dari kalangan kaum muslimin
“Merupakan dari perbuatan sunnah, seorang muslim mengucapkan setelah setiap shalat fardu membaca ASTAGHFIRULLAH tiga kali, kemudian dilanjutkan dengan:
allahumma antas salaam wa minkas salaam tabaarakta yaa dzal jalaali wal ikraam
laa ilaaha illallahu wahdahu laa syariikalahu, lahul mulku wa lahul hamdu wahuwa 'alaa kulli syai-in qadiir, laa haula wa laa quwwata illa billah
laa ilaaha illallahu, laa na'budu illa iyyahu, lahun ni'matu walahul fadhlu walahuts tsanaa-ul hasan, laa ilaaha illallahu, mukhlishiina lahuddina walau karihal kaafiruun, allahumma laa maa ni'a limaa a'thoita, wa laa mu'tiya limaa mana'ta, walaa yanfa' dzal jaddi minkal jaddu.
Dari Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz kepada seluruh orang melihat tulisan ini dari kalangan kaum muslimin
“Merupakan dari perbuatan sunnah, seorang muslim mengucapkan setelah setiap shalat fardu membaca ASTAGHFIRULLAH tiga kali, kemudian dilanjutkan dengan:
allahumma antas salaam wa minkas salaam tabaarakta yaa dzal jalaali wal ikraam
laa ilaaha illallahu wahdahu laa syariikalahu, lahul mulku wa lahul hamdu wahuwa 'alaa kulli syai-in qadiir, laa haula wa laa quwwata illa billah
laa ilaaha illallahu, laa na'budu illa iyyahu, lahun ni'matu walahul fadhlu walahuts tsanaa-ul hasan, laa ilaaha illallahu, mukhlishiina lahuddina walau karihal kaafiruun, allahumma laa maa ni'a limaa a'thoita, wa laa mu'tiya limaa mana'ta, walaa yanfa' dzal jaddi minkal jaddu.
PENGERTIAN PUASA
Puasa ialah Menahan diri dari perkara-perkara tertentu dengan niat, dari terbit fajar kedua/subuh hingga terbenam total matahari.
Puasa ialah Menahan diri dari perkara-perkara tertentu dengan niat, dari terbit fajar kedua/subuh hingga terbenam total matahari.
SYARAT SYAH PUASA
Islam,suci dari haid dan nivas,mumayiz,dlam wktu di
perbolehknnya puasa
ORANG YANG WAJIB PUASA:
Islam, baligh, berakal (waras), mampu, muqim, sehat.
ORANG YANG WAJIB PUASA:
Islam, baligh, berakal (waras), mampu, muqim, sehat.
Adapun hukum puasabermacam-macam, namun tata
caranya sama. Hukum puasa antara lain: Puasa
wajib (puasa pada bulan
ramadhan), puasa sunnah (puasa yang dilakukan pada hari-hari
tertentu) dan puasa haram / haram puasa (Puasa pada hari-hari yang dilarang
berpuasa). Perintah puasa telah difirmankan oleh Allah SWT pada Al-Qur’an Surat
Al-Baqarah ayat 183, yang berbunyi :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (البقرة : ١٨٣
“Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu agar kamu bertakwa” (QS. Al-Baqarah : 183)
dibahas mengenai panduan tata cara menjalankan atau
menunaikan ibadah puasa
CARA MELAKUKAN PUASA
1. Memantapkan Niat Biasakan untuk
memantapkan niat Anda untuk melakukan puasa. Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa
yang tidak berniat akan berpuasa sebelum fajar, maka tiada sah puasanya”.
2. Melaksanakan Makan Sahur Berdasarkan
HR. Bukhari Muslim dan Ana bin Malik R.A
“Telah bersabda Rasulullah SAW.,’Sahurlah kalian, maka sesungguhnya dalam
sahur itu ada berkahnya’” Selanjutnya Ibnu Hajar juga menambahkan bahwa:
“Yang jelas sahur itu merupakan suatu perbuatan yang mengikuti sunnah, berbeda
dengan perbuatan Ahli Kitab, memelihara terhadap ibadah, menambah semangat,
menolak pengaruh buruk yang ditimbulkan oleh rasa lapar, atau merupakan
kesempatan bersedekah kepada orang lain dengan mengundangnya makan sahur
bersama, dan juga dapat dilanjutkan dengan merzikir atau berdoa, karena waktu
sahur adalah waktu yang mustajab untuk berdoa”.
3. Imsak Rasulullah Telah bersabda
Rasulullah SAW: “Apabila salah seorang di
antara kalian mendengar azan subuh padahal bejana masih berada di tangannya,
maka janganlah ia meletakkan (bejana itu) sampai ia menyelesaikan kebutuhannya
itu “(Hr Abu Dawud, Ibnu Jarir, Abu Muhammad Al Jauhari, Al Hakim, Baihaqi dan
Ahmad dari Abu Hurairah). Dengan
demikian maka jika seseorang yang sedang sahur mendengar azan subuh, maka ia
tetap dibolehkan untuk meneruskan sahurnya. Dengan catatan bahwa orang tersebut
tidak sengaja menunggu atau mengetahui bahwa azan subuh segera akan tiba.
4. Mempercepat Berbuka Apabila Telah Tiba Waktunya Abu Hurairah r.a.
berkata telah bersabda Rasulullah SAW: “Telah
berfirman Allah Yang Mahamulia dan Maha Agung:”Hamba-hamba Ku yang lebih aku
cintai ialah mereka yang paling segera berbukanya”(HR Tirmidzi dari Abu
Hurairah). Selain itu dalam hadis lain, Rasulullah SAW bersabda bahwa :
“Sesungguhnya kami – golongan para Nabi – diperintahkan untuk menyegerakan
berbuka dan mengakhirkan sahur, dan supaya kami meletakkan tangan kanan kami di
atas tangan kiri kami di dalam shalat” (HR Ibnu Hibban dan Dhiya’).
5. Memperbanyak Membaca Al Qur’an Rasulullah SAW bersabda : “Orang-orang
yang berkumpul di masjid dan membaca Al Qur’an, maka kepada mereka Allah akan
menurunkan ketenangan batin dan limpahan rahmat’ (HR Muslim). Sebagian
orang mengartikan tadarus dengan membaca Al Qur’an secara patungan (secara
bergiliran). Seperti yang disebutkan didalam hadis HR. Tirmidzi bahwa
“Barangsiapa membaca satu huruf Al Qur’an, maka pahala untuknya sepuluh kali
lipat kebaikan”. Adanya ketenangan batin dan limpahan rahmat akan mungkin lebih
bisa dicapai bila tadarusan diartikan dengan mempelajari, menelaah, dan
menikmati Al Qur’an.
6. Memperbanyak Sedekah Pada bulan
puasa sedekah sangat dianjurkan pada bulan Ramadhan (Hr Tirmidzi).
Bersedekah tidak saja memberi uang, termasuk di dalamnya memberi pertolongan ,
mengajak berbuka puasa kepad fakir miskin, memberi perhatian, bahkan memberi
seulas senyum pun sudah termasuk suatu sedekah.
7. Membayar Zakat Fitrah Setiap orang
Islam harus membayar zakat berupa bahan makanan yang jumlahnya telah ditentukan
(2,5 kg), baik berupa gandum, juwawut, beras, atau apa saja yang menjadi bahan
makanan pokok daerah setempat, dan dihitung menurut jumlah keluarga, termasuk
orang tua, anak-anak, lelaki dan perempuan (HR Bukhari). Jumlah ini harus
dikumpulkan oleh masyarakat Islam , lalu dibagikan kepada orangorang yang
berhak menerimanya. Aturan pembagian zakat fitrah itu sebagai berikut. Zakat
itu harus diberikan kepada yang berhak sebelum shalat Ied, dan ini merupakan
kewajiban bagi orang yang mampu. Sebagaimana diuraikan dalam hadis, zakat
fitrah harus diorganisasikan seperti zakat mal, sebagai berikut:
” Mereka memberikan sedekah (fitrah) untuk dikumpulkan, dan
tidak untuk dibagi-bagikan kepada para pengemis”(HR Bukhari).
Pengertian Haji
Pengertian haji secara garis besar adalah kunjungan ke Baitullah, untuk melakukan Thawaf, Sa’i, Wukuf di Arafah dan melakukan amalan – amalan yang lain dalam waktu tertentu ( antara 1 syawal sampai 13 Dzul Hijjah ) untuk mendapatkan keridhaan Allah SWT. Haji di wajibkan bagi kaum muslim jika mampu, yang di maksud mampu adalah Mampu dalam Hal materi dan kesehatan.
2. Syarat Haji
1. Islam
2. Baligh
3. Berakal sehat
4. Merdeka
5. Mampu
Pengertian haji secara garis besar adalah kunjungan ke Baitullah, untuk melakukan Thawaf, Sa’i, Wukuf di Arafah dan melakukan amalan – amalan yang lain dalam waktu tertentu ( antara 1 syawal sampai 13 Dzul Hijjah ) untuk mendapatkan keridhaan Allah SWT. Haji di wajibkan bagi kaum muslim jika mampu, yang di maksud mampu adalah Mampu dalam Hal materi dan kesehatan.
2. Syarat Haji
1. Islam
2. Baligh
3. Berakal sehat
4. Merdeka
5. Mampu
TATA
CARA MELAKUKAN IBADAH HAJI
apabila seseorang hendak
melakukan ibadah haji ataupun umrah, maka hendaknya ia berangkat ke Mekkah pada
bulan-bulan haji, dan afdhalnya adalah berihram di miqat untuk umrah agar haji
yang dilakukannya adalah haji tamattu’. Ia memulai ihram umrahnya dari miqat, dan
sesaat sebelum berihram hendaknya mandi terlebih dahulu seperti mandi dari
janabat, rambut kepala dan jenggot dioles dengan minyak wangi (farfum), lalu
berpakaian ihram. Sebaiknya memulai ihramnya setelah usai melakukan shalat
fardhu, jika memang waktunya telah masuk, atau sesudah melakukan shalat sunnah
wudhu; sebab tidak ada shalat sunnat khusus untuk ihram dan tidak pernah
dilakukan oleh Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam. Kemudian bertalbiyah
dengan mengucapkan:
لَبَّيْكَ
اَللَّهُمَّ عُمْرةً، لَبَّيْكَ اَللَّهُمَّ لَبَّيْكََ، لاَ شَرِيْكَ لَكَ
لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ، لاَ شرِيْكَ لَكَ.
“Aku
penuhi panggilan-Mu ya Allah untuk berumrah, Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah
aku penuhi; aku penuhi panggilan-Mu tiada sekutu bagi-Mu, aku penuhi
panggilan-Mu; Sesungguhnya segala puji dan kenikmatan adalah milik-Mu dan
begitu pula kerajaan, tiada sektu bagi-Mu.”
Talbiyah tersebut terus dilakukan hingga tiba di Mekkah.
Talbiyah dihentikan apabila akan memulai thawaf; thawaf dimulai dengan mengusap dan mengecup Hajar Aswad jika hal itu memungkinkan, namun jika tidak, maka cukup dengan berisyarat saja kepadanya sambil mengucapkan:
Talbiyah tersebut terus dilakukan hingga tiba di Mekkah.
Talbiyah dihentikan apabila akan memulai thawaf; thawaf dimulai dengan mengusap dan mengecup Hajar Aswad jika hal itu memungkinkan, namun jika tidak, maka cukup dengan berisyarat saja kepadanya sambil mengucapkan:
بِسْمِ اللهِ وَاللهُ
أَكْبَرُ، اَللَّهُمَّ إِيْمَانًا بِكَ، وَتَصْدِيْقًا بِكِتَابِكَ، وَوَفَاءً بِعَهْدِكَ،
وَاتِّبَاعًا لِسُنَّةِ نَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
“Dengan
menyebut nama Allah, dan Allah Mahabesar; Ya Allah, karena iman kepada-Mu,
percaya kepada kitab suci-Mu, dan karena memenuhi janji-Mu serta mengikuti
sunnah nabi-Mu Nabi Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam.”
Posisi Ka’bah harus berada pada posisi sebelah kiri dan berputar mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali putaran, dimulai dan diakhiri pada Hajar Aswad. Bagi laki-laki disunnatkan berlari-lari kecil pada putaran ketiga pertama dengan cara mempercepat jalan dan memperpendek langkah serta melakukan idhthiba’ selama thawaf, yaitu membiarkan pundak kanan terbuka sedangkan pundak kiri tertutup oleh kain ihram (diselendangkan). Dan setiap kali berada pada posisi sejajar dengan Hajar Aswad bertakbir (mengucapkan: Allahu Akbar), dan di saat berada di antara sudut Rukun Yamani dan Hajar Aswad berdoa dengan membaca:
Posisi Ka’bah harus berada pada posisi sebelah kiri dan berputar mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali putaran, dimulai dan diakhiri pada Hajar Aswad. Bagi laki-laki disunnatkan berlari-lari kecil pada putaran ketiga pertama dengan cara mempercepat jalan dan memperpendek langkah serta melakukan idhthiba’ selama thawaf, yaitu membiarkan pundak kanan terbuka sedangkan pundak kiri tertutup oleh kain ihram (diselendangkan). Dan setiap kali berada pada posisi sejajar dengan Hajar Aswad bertakbir (mengucapkan: Allahu Akbar), dan di saat berada di antara sudut Rukun Yamani dan Hajar Aswad berdoa dengan membaca:
رَبَّنَا آتِنَا فِي
الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
“Wahai
Tuhanku, anugerahkanlah kepada kami kebaikan di dunia ini dan kebaikan di
akhirat kelak, dan hindarkanlah kami dari adzab api Neraka.”
Untuk selebihnya boleh berdzikir dan berdoa dengan dzikir atau doa apa saja yang kita kehendaki.
Dalam thawaf tidak ada doa tertentu pada setiap putarannya, maka dari itu hendaknya kita waspada terhadap berbagai buku kecil yang ada di tangan para jama’ah haji, yang di dalam buku itu ditulis doa khusus untuk setiap putaran thawaf; itu semua adalah bid’ah tidak pernah dilakukan atau diajarkan oleh Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam, sementara beliau sudah menegaskan: “Setiap bid’ah itu adalah kesesatan”.
Ada satu perkara yang wajib diperhatikan oleh orang yang melakukan thawaf, yaitu kesalahan yang dilakukan oleh sebahagian jama’ah pada waktu ramai (berdesak-desakan); mereka thawaf masuk lewat pintu Hijir Isma’il dan keluar dari pintu yang lain. Mereka tidak menyertakan Hijir Isma’il itu sebagai bagian Ka’bah yang wajib di thawafi. Ini adalah suatu kesalahan, sebab Hijir Isma’il itu sebagian besarnya termasuk bagian Ka’bah, maka barangsiapa yang thawaf dengan menerobos lewat pintu Hijir itu, maka berarti tidak memutari (thawaf) Ka’bah dan thawafnya tidak shah.
Seusai melakukan thawaf hendaklah shalat dua raka’at di belakang Maqam Ibrahim, jika hal itu memungkinkan; namun jika tidak memungkinkan, maka hendaklah shalat di mana saja di dalam Masjidil Haram itu. Setelah itu pergi menuju Shafa dan apabila telah mendekatinya membaca:
Untuk selebihnya boleh berdzikir dan berdoa dengan dzikir atau doa apa saja yang kita kehendaki.
Dalam thawaf tidak ada doa tertentu pada setiap putarannya, maka dari itu hendaknya kita waspada terhadap berbagai buku kecil yang ada di tangan para jama’ah haji, yang di dalam buku itu ditulis doa khusus untuk setiap putaran thawaf; itu semua adalah bid’ah tidak pernah dilakukan atau diajarkan oleh Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam, sementara beliau sudah menegaskan: “Setiap bid’ah itu adalah kesesatan”.
Ada satu perkara yang wajib diperhatikan oleh orang yang melakukan thawaf, yaitu kesalahan yang dilakukan oleh sebahagian jama’ah pada waktu ramai (berdesak-desakan); mereka thawaf masuk lewat pintu Hijir Isma’il dan keluar dari pintu yang lain. Mereka tidak menyertakan Hijir Isma’il itu sebagai bagian Ka’bah yang wajib di thawafi. Ini adalah suatu kesalahan, sebab Hijir Isma’il itu sebagian besarnya termasuk bagian Ka’bah, maka barangsiapa yang thawaf dengan menerobos lewat pintu Hijir itu, maka berarti tidak memutari (thawaf) Ka’bah dan thawafnya tidak shah.
Seusai melakukan thawaf hendaklah shalat dua raka’at di belakang Maqam Ibrahim, jika hal itu memungkinkan; namun jika tidak memungkinkan, maka hendaklah shalat di mana saja di dalam Masjidil Haram itu. Setelah itu pergi menuju Shafa dan apabila telah mendekatinya membaca:
إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ
مِنْ شَعَائِرِ اللهِ ...
tanpa mengulanginya kembali sesudah itu. Kemudian naik ke
atas Shafa, menghadap ke Qiblat (Ka’bah) lalu mengangkat kedua tangan dan
bertakbir serta bertahmid, lalu mengucapkan:
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ
شَيْءٍ قَدِيْرٌ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ، أَنْجَزَ وَعْدَهُ، وَنَصَرَ
عَبْدَهُ، وَهَزَمَ اْلأَحْزَابَ وَحْدَهُ.
Kemudian berdoa, lalu
mengulang dzikir tersebut, lalu berdoa lagi, berdzikir yang ketiga
kalinya.
Setelah itu turun menuju Marwa dengan berjalan kaki biasa hingga sampai pada tanda hijau (tiang hijau), dari tanda hijau itu berjalan cepat (lari-lari kecil) jika hal uitu memungkinkan dan tidak mengganggu orang lain, hingga sampai pada tanda hijau berikutnya, lalu berjalan seperti biasa hingga sampai di Marwa. Apabila telah sampai di Marwa, naik ke atasnya dan menghadap ke Qiblat sambil mengangkat kedua tangan dan membaca bacaan seperti yang dibaca di Shafa. Maka dengan demikian selesailah satu putaran.
Kemudian, dari Marwa kembali berjalan menuju Shafa, ini adalah putaran yang kedua. Bacaan yang dibaca sama dan yang dikerjakan pun sama dengan yang dikerjakan pada putaran pertama tadi. Apabila telah sempurna melakukan tujuh putaran, (dari Shafa ke Marwa dihitung satu putaran dan dari Marwa ke Shafa satu putaran) yang berakhir di Marwa, maka hendaklah menggunting seluruh bagian rambut kepala (memendekkannya) hingga benar-benar tampak pendek. Sedangkan kaum wanita cukup memotong ujung rambutnya sepanjang ujung jari kemudian bertahallul dari ihramnya secara sempurna, melakukan apa saja yang dihalalkan oleh Allah Subhannahu wa Ta'ala seperti mencampuri istri, berwangi-wangian dan berpakaian biasa serta lain-lainnya.
Pada tanggal 8 Dzulhijjah berihram kembali untuk ibadah haji. Dimulai dengan mandi, memakai wangi-wangian dan mengenakan pakaian ihram. Setelah itu pergi menuju Mina dan melakukan shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya’ dan Shubuh di sana (shalat lima waktu). Shalat Zhuhur, ‘Ashar dan Isya dilaksanakan secara qashar (dipersingkat menjadi dua raka’at) masing-masing pada waktunya dengan tidak men-jama’nya. Jadi hanya mengqashar saja selama berada di Mina.
Pada keesokan harinya (tanggal 9, hari ‘Arafah) setelah matahari terbit, berangkat lagi menuju padang Arafah, dan jika memungkinkan tinggal di (masjid) Namirah. Tetapi jika tidak memungkinkan maka langsung menuju kawasan Arafah kemudian singgah di sana, lalu apabila matahari sudah condong ke arah barat, lakukanlah shalat Zhuhur dan ‘Ashar dengan cara qashar dan taqdim, setelah itu habiskanlah sisa waktu untuk dzikir mengingat Allah, berdoa kepada-Nya, membaca Al-Qur’an dan amalan-amalan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala. Dan hendaklah saat-saat akhir hari itu digunakan untuk berdoa kepada Allah secara serius, karena saat-saat itu merupakan saat-saat mustajab.
Apabila matahari telah terbenam, berangkatlah menuju Muzdalifah, setibanya di sana lakukanlah shalat Maghrib dan ‘Isya’ secara jama’ qashar ta’khir, dan hendaknya tetap berada di Muzdalifah hingga shalat Subuh. Setelah itu berdoa kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala hingga cahaya tampak terang sekali, kemudian berangkat melanjutkan perjalanan menuju Mina. Bagi orang-orang yang tidak mampu menghadapi desakan para jama’ah (di waktu melontar Jumrah) boleh berangkat dari Muzdalifah sebelum fajar Subuh terbit, karena Nabi Shalallaahu alaihi wasalam telah memberikan keringanan (rukhshah) untuk hal yang demikian.
Apabila telah sampai di Mina bergegaslah melontar Jumrah ‘Aqabah dengan tujuh lontaran (lemparan) dengan menggunakan tujuh biji batu kerikil kecil, pada setiap lontaran dibarengi dengan takbir (membaca: Allahu akbar), setelah itu menyembelih hewan hady yang telah disiapkan sebelumnya, lalu mencukur habis rambut kepala. Mencukur habis rambut kepala itu lebih baik dan lebih utama daripada memendekkannya saja, tetapi jika hanya dipendekkan saja, maka tidak mengapa. Bagi wanita cukup memotong ujung rambutnya saja kira-kira seujung jari. Dengan demikian selesailah melakukan tahallul pertama, maka boleh baginya melakukan semua larangan ihram kecuali jima’ (bersetubuh).
Setelah itu pergi ke tempat peristirahatan (kemah) untuk berbersih diri (mandi dll), berwangi-wangian dan memakai pakaian biasa, setelah itu berangkat menuju Mekkah untuk melakukan thawaf ifadhah sebanyak tujuh putaran dan sa’i di Shafa dan Marwa sebanyak tujuh putaran juga. Thawaf dan sa’i tersebut adalah untuk thawaf dan sa’i haji, sebagaimana thawaf dan sa’i yang dilakukan di waktu pertama datang ke Mekkah sebagai thawaf dan sa’i umrah. Maka dengan (melakukan thawaf ifadhah dan sa’i tersebut) boleh melakukan apa saja, termasuk bersetubuh dengan istri.
Mari kita perhatikan apa yang harus dilakukan oleh jama’ah haji pada hari ‘Idul Adha (10 Dzulhijjah)? Jama’ah haji pada hari ‘Idul Adha melakukan: melontar jumrah ‘Aqabah, lalu menyembelih hady (hewan kurban), lalu mencukur atau memendekkan rambut kepala, lalu thawaf, dan kemudian sa’i. Itulah lima manasik haji yang dikerjakan secara berurutan, namun jika dilakukan tidak secara berurutan maka tidaklah mengapa, karena pada suatu ketika Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam ditanya tentang mendahulukan yang satu dan menunda yang lain, maka setiap pertanyaan tentang mendahulukan dan mengakhirkan salah satu dari lima macam manasik tersebut beliau jawab, “Lakukanlah dan tidak mengapa”.
Karena itu, jika dari Muzdalifah langsung menuju Mekkah, lalu di sana melakukan thawaf dan sa’i kemudian ke Mina dan melontar, maka tidak mengapa; seandainya melontar lalu mencukur rambut sebelum menyembelih hady juga tidak mengapa; jika melontar lalu pergi ke Mekkah dan mengerjakan thawaf dan sa’i, juga tidak mengapa; dan jikalau setelah melontar, menyembelih dan mencukur rambut lalu pergi ke Mekkah dan melakukan sa’i sebelum melakukan thawaf, juga tidak mengapa. Yang penting adalah bahwa mendahulukan salah satu di antara lima macam manasik tersebut terhadap yang lainnya boleh-boleh saja, karena setiap pertanyaan yang diajukan kepada Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam tentang hal tersebut beliau jawab, “Lakukan dan tidak mengapa”. Itu terhadapsemua merupakan bagian dari kemudahan dan belas kasih dari Allah hamba-hamba-Nya.
Amalan-amalan ibadah haji yang masih tersisa sesudah itu adalah mabit (bermalam) di Mina pada malam tanggal 11, 12 dan 13 bagi yang pulang lebih akhir, karena Allah Subhannahu wa Ta'ala telah berfirman,
“Dan berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah dalam beberapa hari yang berbilang. Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barangsiapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa baginya, bagi orang yang bertaqwa.” (Al-Baqarah: 203).
Maka hendaklah bermalam (mabit) di Mina pada malam ke 11 dan 12; bermalam pada dua malam itu boleh dengan cara berdiam di sana dalam ukuran malam yang lebih banyak.
Apabila matahari telah tergelincir pada hari ke 11 (tanggal 11) maka melontar tiga Jumrah, dimulai dari Jumrah Shughra, yaitu Jumrah yang pertama yang terletak paling timur dibanding jumrah yang lain. Melontar dilakukan sebanyak 7 kali dengan 7 kerikil secara berurutan, pada setiap lontaran (lemparan) dibarengi dengan takbir (membaca: Allhu akbar), setelah itu beralih sedikit dari keramaian dan menghadap Kiblat dengan mengangkat kedua tangan seraya berdoa (memohon) kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala secukupnya. Kemudian maju menuju Jumrah Wustha lalu melontarnya sebanyak 7 kali secara berurutan, pada setiap lontaran dibarengi dengan takbir, kemudian maju sedikit keluar dari keramaian manusia dan berdoa secukupnya sambil mengangkat kedua tangan dengan menghadap Kiblat; sesudah itu menuju Jumrah Aqabah dan melontarnya dengan 7 kerikil secara berurutan dan setiap lontaran dibarengi dengan takbir. Di sini tidak perlu berdoa karena mencontoh Rasulullah .
Pada hari ke-12 (tanggal 12) melontar tiga Jumrah sebagaimana hari sebelumnya, demikian pula pada hari ke-13 jika menangguhkan keberangkatannya hingga hari ke-13.
Tidak boleh bagi siapa saja melontar pada hari ke-11, 12 dan 13 sebelum zawal (sebelum matahari tergelincir), sebab Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam tidak pernah melontar kecuali sesudah zawal, dan beliau bersabda, “Mencontohlah kamu kepadaku dalam cara melaksanakan manasik haji”.
Para shahabat Nabi pun selalu menunggu waktu zawal untuk melontar, maka apabila waktu zawal tiba mereka pun melontar. Kalau sekiranya melontar sebelum zawal itu boleh, niscaya Nabi n telah menjelaskannya kepada umatnya, baik itu melalui praktek beliau sendiri, ucapannya ataupun melalui iqrar-nya, dan niscaya Nabi Shalallaahu alaihi wasalam tidak memilih waktu siang hari, yaitu waktu terik panas matahari untuk melontar; apalagi di pagi hari itu lebih memudahkan jama’ah.
Dengan demikian jelaslah bahwa melontar di pagi hari itu tidak boleh, sebab sekiranya melontar di pagi hari itu termasuk ajaran Allah Ta'ala, niscaya Dia ajarkan kepada hamba-hamba-Nya, karena waktu pagi itu lebih mudah, di mana kita ketahui bahwasanya Allah Subhannahu wa Ta'ala biasanya menetapkan hukum yang termudah bagi hamba-hamba-Nya.
Namun demikian, boleh bagi seseorang yang tidak mampu menahan desakan orang banyak atau berangkat menuju Jamarat (pelontaran) pada siang hari untuk menunda waktu melontarnya hingga di malam hari, karena malam hari masih termasuk waktu melontar; dan tidak ada dalil yang menegaskan bahwa melontar pada malam hari itu tidak sah. Dalil yang ada adalah bahwasanya Nabi Shalallaahu alaihi wasalam telah menetapkan kapan waktu melontar boleh dimulai dan beliau tidak menetapkan batas waktu melontar berakhir, sedang hukum yang menjadi pegangan adalah bahwa perkara yang mempunyai makna mutlaq harus diberlakukan kemutlakannya, kecuali apabila ada dalil lain yang membatasinya dengan suatu sebab atau waktu.
Hendaknya setiap jama’ah haji selalu bersikap hati-hati dan tidak menganggap remeh masalah melontar Jamarat; karena banyak jama’ah yang meremehkannya sampai rela mewakilkannya kepada orang lain untuk melontarkan bagi dirinya, padahal dia masih mampu melontar sendiri! Yang demikian itu tidak boleh dan tidak sah, karena Allah Subhannahu wa Ta'ala telah berfirman di dalam Kitab Suci-Nya:
“Dan sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah”. (Al-Baqarah: 196).
Melontar Jumrah itu termasuk amalan haji, maka tidak boleh diabaikan; dan Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam pun tidak pernah mengizinkan keluarganya yang lemah untuk mewakilkan kewajiban melontar mereka kepada orang lain, beliau hanya mengizinkan kepada mereka berangkat dari Muzdalifah pada dini hari supaya mereka dapat melontar sendiri sebelum keramaian manusia. Dan Nabi Shalallaahu alaihi wasalam pun tidak mengizinkan para pengembala unta (yang beribadah haji) yang harus meninggalkan Mina karena ternak mereka untuk mewakilkan lontaran mereka kepada orang lain. Nabi Shalallaahu alaihi wasalam hanya mengizinkan mereka agar sehari melontar dan sehari tidak, lalu mereka melontar pada hari ketiga. Semua itu menunjukkan betapa pentingnya seorang jama’ah haji melontar sendiri dan tidak mewakilkannya kepada siapa pun. Ya, kacuali jika dalam keadaan terpaksa, maka boleh diwakilkan kepada orang lain, seperti karena sakit atau sudah lanjut usia, tidak mampu datang ke tempat pelontaran, atau karena hamil (bagi wanita) yang khawatir akan keselamatan diri dan bayi dalam kandungannya, maka dalam kondisi seperti itu melontar boleh diwakilkan.
Kalau sekiranya tidak karena ada riwayat dari sebahagian shahabat Nabi Shalallaahu alaihi wasalam yang menyatakan bahwa mereka melontarkan untuk anak-anak mereka, niscaya kami katakan, “Sesungguhnya orang yang lemah, gugur kewajiban melontarnya, karena melontar adalah kewajiban yang ia tidak mampu melakukannya, oleh karena itu, kewajiban itu gugur karena ketidakmampuannya”, akan tetapi karena ada riwayat jenis perwakilan melontar bagi anak-anak, maka tidak mengapa kalau orang yang tidak mampu melontar sendiri disamakan dengan anak-anak kecil.
Yang penting adalah, kita wajib mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, tidak meremehkannya, dan berusaha semaksimal mungkin melakukannya dengan diri kita sendiri, karena hal tersebut adalah ibadah, sebagaimana Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda,
Setelah itu turun menuju Marwa dengan berjalan kaki biasa hingga sampai pada tanda hijau (tiang hijau), dari tanda hijau itu berjalan cepat (lari-lari kecil) jika hal uitu memungkinkan dan tidak mengganggu orang lain, hingga sampai pada tanda hijau berikutnya, lalu berjalan seperti biasa hingga sampai di Marwa. Apabila telah sampai di Marwa, naik ke atasnya dan menghadap ke Qiblat sambil mengangkat kedua tangan dan membaca bacaan seperti yang dibaca di Shafa. Maka dengan demikian selesailah satu putaran.
Kemudian, dari Marwa kembali berjalan menuju Shafa, ini adalah putaran yang kedua. Bacaan yang dibaca sama dan yang dikerjakan pun sama dengan yang dikerjakan pada putaran pertama tadi. Apabila telah sempurna melakukan tujuh putaran, (dari Shafa ke Marwa dihitung satu putaran dan dari Marwa ke Shafa satu putaran) yang berakhir di Marwa, maka hendaklah menggunting seluruh bagian rambut kepala (memendekkannya) hingga benar-benar tampak pendek. Sedangkan kaum wanita cukup memotong ujung rambutnya sepanjang ujung jari kemudian bertahallul dari ihramnya secara sempurna, melakukan apa saja yang dihalalkan oleh Allah Subhannahu wa Ta'ala seperti mencampuri istri, berwangi-wangian dan berpakaian biasa serta lain-lainnya.
Pada tanggal 8 Dzulhijjah berihram kembali untuk ibadah haji. Dimulai dengan mandi, memakai wangi-wangian dan mengenakan pakaian ihram. Setelah itu pergi menuju Mina dan melakukan shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya’ dan Shubuh di sana (shalat lima waktu). Shalat Zhuhur, ‘Ashar dan Isya dilaksanakan secara qashar (dipersingkat menjadi dua raka’at) masing-masing pada waktunya dengan tidak men-jama’nya. Jadi hanya mengqashar saja selama berada di Mina.
Pada keesokan harinya (tanggal 9, hari ‘Arafah) setelah matahari terbit, berangkat lagi menuju padang Arafah, dan jika memungkinkan tinggal di (masjid) Namirah. Tetapi jika tidak memungkinkan maka langsung menuju kawasan Arafah kemudian singgah di sana, lalu apabila matahari sudah condong ke arah barat, lakukanlah shalat Zhuhur dan ‘Ashar dengan cara qashar dan taqdim, setelah itu habiskanlah sisa waktu untuk dzikir mengingat Allah, berdoa kepada-Nya, membaca Al-Qur’an dan amalan-amalan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala. Dan hendaklah saat-saat akhir hari itu digunakan untuk berdoa kepada Allah secara serius, karena saat-saat itu merupakan saat-saat mustajab.
Apabila matahari telah terbenam, berangkatlah menuju Muzdalifah, setibanya di sana lakukanlah shalat Maghrib dan ‘Isya’ secara jama’ qashar ta’khir, dan hendaknya tetap berada di Muzdalifah hingga shalat Subuh. Setelah itu berdoa kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala hingga cahaya tampak terang sekali, kemudian berangkat melanjutkan perjalanan menuju Mina. Bagi orang-orang yang tidak mampu menghadapi desakan para jama’ah (di waktu melontar Jumrah) boleh berangkat dari Muzdalifah sebelum fajar Subuh terbit, karena Nabi Shalallaahu alaihi wasalam telah memberikan keringanan (rukhshah) untuk hal yang demikian.
Apabila telah sampai di Mina bergegaslah melontar Jumrah ‘Aqabah dengan tujuh lontaran (lemparan) dengan menggunakan tujuh biji batu kerikil kecil, pada setiap lontaran dibarengi dengan takbir (membaca: Allahu akbar), setelah itu menyembelih hewan hady yang telah disiapkan sebelumnya, lalu mencukur habis rambut kepala. Mencukur habis rambut kepala itu lebih baik dan lebih utama daripada memendekkannya saja, tetapi jika hanya dipendekkan saja, maka tidak mengapa. Bagi wanita cukup memotong ujung rambutnya saja kira-kira seujung jari. Dengan demikian selesailah melakukan tahallul pertama, maka boleh baginya melakukan semua larangan ihram kecuali jima’ (bersetubuh).
Setelah itu pergi ke tempat peristirahatan (kemah) untuk berbersih diri (mandi dll), berwangi-wangian dan memakai pakaian biasa, setelah itu berangkat menuju Mekkah untuk melakukan thawaf ifadhah sebanyak tujuh putaran dan sa’i di Shafa dan Marwa sebanyak tujuh putaran juga. Thawaf dan sa’i tersebut adalah untuk thawaf dan sa’i haji, sebagaimana thawaf dan sa’i yang dilakukan di waktu pertama datang ke Mekkah sebagai thawaf dan sa’i umrah. Maka dengan (melakukan thawaf ifadhah dan sa’i tersebut) boleh melakukan apa saja, termasuk bersetubuh dengan istri.
Mari kita perhatikan apa yang harus dilakukan oleh jama’ah haji pada hari ‘Idul Adha (10 Dzulhijjah)? Jama’ah haji pada hari ‘Idul Adha melakukan: melontar jumrah ‘Aqabah, lalu menyembelih hady (hewan kurban), lalu mencukur atau memendekkan rambut kepala, lalu thawaf, dan kemudian sa’i. Itulah lima manasik haji yang dikerjakan secara berurutan, namun jika dilakukan tidak secara berurutan maka tidaklah mengapa, karena pada suatu ketika Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam ditanya tentang mendahulukan yang satu dan menunda yang lain, maka setiap pertanyaan tentang mendahulukan dan mengakhirkan salah satu dari lima macam manasik tersebut beliau jawab, “Lakukanlah dan tidak mengapa”.
Karena itu, jika dari Muzdalifah langsung menuju Mekkah, lalu di sana melakukan thawaf dan sa’i kemudian ke Mina dan melontar, maka tidak mengapa; seandainya melontar lalu mencukur rambut sebelum menyembelih hady juga tidak mengapa; jika melontar lalu pergi ke Mekkah dan mengerjakan thawaf dan sa’i, juga tidak mengapa; dan jikalau setelah melontar, menyembelih dan mencukur rambut lalu pergi ke Mekkah dan melakukan sa’i sebelum melakukan thawaf, juga tidak mengapa. Yang penting adalah bahwa mendahulukan salah satu di antara lima macam manasik tersebut terhadap yang lainnya boleh-boleh saja, karena setiap pertanyaan yang diajukan kepada Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam tentang hal tersebut beliau jawab, “Lakukan dan tidak mengapa”. Itu terhadapsemua merupakan bagian dari kemudahan dan belas kasih dari Allah hamba-hamba-Nya.
Amalan-amalan ibadah haji yang masih tersisa sesudah itu adalah mabit (bermalam) di Mina pada malam tanggal 11, 12 dan 13 bagi yang pulang lebih akhir, karena Allah Subhannahu wa Ta'ala telah berfirman,
“Dan berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah dalam beberapa hari yang berbilang. Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barangsiapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa baginya, bagi orang yang bertaqwa.” (Al-Baqarah: 203).
Maka hendaklah bermalam (mabit) di Mina pada malam ke 11 dan 12; bermalam pada dua malam itu boleh dengan cara berdiam di sana dalam ukuran malam yang lebih banyak.
Apabila matahari telah tergelincir pada hari ke 11 (tanggal 11) maka melontar tiga Jumrah, dimulai dari Jumrah Shughra, yaitu Jumrah yang pertama yang terletak paling timur dibanding jumrah yang lain. Melontar dilakukan sebanyak 7 kali dengan 7 kerikil secara berurutan, pada setiap lontaran (lemparan) dibarengi dengan takbir (membaca: Allhu akbar), setelah itu beralih sedikit dari keramaian dan menghadap Kiblat dengan mengangkat kedua tangan seraya berdoa (memohon) kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala secukupnya. Kemudian maju menuju Jumrah Wustha lalu melontarnya sebanyak 7 kali secara berurutan, pada setiap lontaran dibarengi dengan takbir, kemudian maju sedikit keluar dari keramaian manusia dan berdoa secukupnya sambil mengangkat kedua tangan dengan menghadap Kiblat; sesudah itu menuju Jumrah Aqabah dan melontarnya dengan 7 kerikil secara berurutan dan setiap lontaran dibarengi dengan takbir. Di sini tidak perlu berdoa karena mencontoh Rasulullah .
Pada hari ke-12 (tanggal 12) melontar tiga Jumrah sebagaimana hari sebelumnya, demikian pula pada hari ke-13 jika menangguhkan keberangkatannya hingga hari ke-13.
Tidak boleh bagi siapa saja melontar pada hari ke-11, 12 dan 13 sebelum zawal (sebelum matahari tergelincir), sebab Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam tidak pernah melontar kecuali sesudah zawal, dan beliau bersabda, “Mencontohlah kamu kepadaku dalam cara melaksanakan manasik haji”.
Para shahabat Nabi pun selalu menunggu waktu zawal untuk melontar, maka apabila waktu zawal tiba mereka pun melontar. Kalau sekiranya melontar sebelum zawal itu boleh, niscaya Nabi n telah menjelaskannya kepada umatnya, baik itu melalui praktek beliau sendiri, ucapannya ataupun melalui iqrar-nya, dan niscaya Nabi Shalallaahu alaihi wasalam tidak memilih waktu siang hari, yaitu waktu terik panas matahari untuk melontar; apalagi di pagi hari itu lebih memudahkan jama’ah.
Dengan demikian jelaslah bahwa melontar di pagi hari itu tidak boleh, sebab sekiranya melontar di pagi hari itu termasuk ajaran Allah Ta'ala, niscaya Dia ajarkan kepada hamba-hamba-Nya, karena waktu pagi itu lebih mudah, di mana kita ketahui bahwasanya Allah Subhannahu wa Ta'ala biasanya menetapkan hukum yang termudah bagi hamba-hamba-Nya.
Namun demikian, boleh bagi seseorang yang tidak mampu menahan desakan orang banyak atau berangkat menuju Jamarat (pelontaran) pada siang hari untuk menunda waktu melontarnya hingga di malam hari, karena malam hari masih termasuk waktu melontar; dan tidak ada dalil yang menegaskan bahwa melontar pada malam hari itu tidak sah. Dalil yang ada adalah bahwasanya Nabi Shalallaahu alaihi wasalam telah menetapkan kapan waktu melontar boleh dimulai dan beliau tidak menetapkan batas waktu melontar berakhir, sedang hukum yang menjadi pegangan adalah bahwa perkara yang mempunyai makna mutlaq harus diberlakukan kemutlakannya, kecuali apabila ada dalil lain yang membatasinya dengan suatu sebab atau waktu.
Hendaknya setiap jama’ah haji selalu bersikap hati-hati dan tidak menganggap remeh masalah melontar Jamarat; karena banyak jama’ah yang meremehkannya sampai rela mewakilkannya kepada orang lain untuk melontarkan bagi dirinya, padahal dia masih mampu melontar sendiri! Yang demikian itu tidak boleh dan tidak sah, karena Allah Subhannahu wa Ta'ala telah berfirman di dalam Kitab Suci-Nya:
“Dan sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah”. (Al-Baqarah: 196).
Melontar Jumrah itu termasuk amalan haji, maka tidak boleh diabaikan; dan Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam pun tidak pernah mengizinkan keluarganya yang lemah untuk mewakilkan kewajiban melontar mereka kepada orang lain, beliau hanya mengizinkan kepada mereka berangkat dari Muzdalifah pada dini hari supaya mereka dapat melontar sendiri sebelum keramaian manusia. Dan Nabi Shalallaahu alaihi wasalam pun tidak mengizinkan para pengembala unta (yang beribadah haji) yang harus meninggalkan Mina karena ternak mereka untuk mewakilkan lontaran mereka kepada orang lain. Nabi Shalallaahu alaihi wasalam hanya mengizinkan mereka agar sehari melontar dan sehari tidak, lalu mereka melontar pada hari ketiga. Semua itu menunjukkan betapa pentingnya seorang jama’ah haji melontar sendiri dan tidak mewakilkannya kepada siapa pun. Ya, kacuali jika dalam keadaan terpaksa, maka boleh diwakilkan kepada orang lain, seperti karena sakit atau sudah lanjut usia, tidak mampu datang ke tempat pelontaran, atau karena hamil (bagi wanita) yang khawatir akan keselamatan diri dan bayi dalam kandungannya, maka dalam kondisi seperti itu melontar boleh diwakilkan.
Kalau sekiranya tidak karena ada riwayat dari sebahagian shahabat Nabi Shalallaahu alaihi wasalam yang menyatakan bahwa mereka melontarkan untuk anak-anak mereka, niscaya kami katakan, “Sesungguhnya orang yang lemah, gugur kewajiban melontarnya, karena melontar adalah kewajiban yang ia tidak mampu melakukannya, oleh karena itu, kewajiban itu gugur karena ketidakmampuannya”, akan tetapi karena ada riwayat jenis perwakilan melontar bagi anak-anak, maka tidak mengapa kalau orang yang tidak mampu melontar sendiri disamakan dengan anak-anak kecil.
Yang penting adalah, kita wajib mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, tidak meremehkannya, dan berusaha semaksimal mungkin melakukannya dengan diri kita sendiri, karena hal tersebut adalah ibadah, sebagaimana Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda,
إِنَّمَا جُعِلَ الطَّوَافُ
بِالْبَيْتِ وَبِالصَّفَا وَالْمَرْوَةِ، وَرَمْيُ الْجَمَرَاتِ لإِقَامَةِ ذِكْرِ
اللهِ.
- “Sesungguhnya thawaf di Baitullah dan
di antara Shafa dan Marwa serta melontar Jumarat itu diperintahkan untuk
menegakkan dzikir kepada Allah.” (Dikeluarkan oleh Abu Daud (no. 1888)
dalam kitab Al-Manasik, At-Tirmidzi (no. 902) dalam kitab Al-Hajj, Ia
mengatakan hasan shahih.)
Apabila haji telah selesai dilakukan, maka seseorang tidak boleh meninggalkan kota Mekkah menuju negerinya sebelum melakukan thawaf wada’ (thawaf perpisahan). Ibnu Abbar Radhiallaahu anhu berkata, “Pada suatu saat orang-orang pada pulang dari segala arah, maka Nabi Shalallaahu alaihi wasalam bersabda, “Jangan ada seorang pun yang pulang sebelum akhir urusannya adalah di Baitullah (thawaf).”( kitab Al-Hajj )
Kecuali kalau wanita haid atau nifas dan telah melakukan thawaf ifadhah, maka thawaf wada’ menjadi gugur darinya. Di dalam hadits Ibnu Abbas Radhiallaahu anhu ia menuturkan, “Para jama’ah haji diperintahkan agar akhir urusan mereka adalah di Baitullah (thawaf), hanya saja thawaf tersebut digugurkan bagi wanita haid”( Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (no. 1755) dalam kitab Al-Hajj, Muslim (no. 380) dalam kitab Al-Hajj.).
Dan juga, karena Nabi Shalallaahu alaihi wasalam tatkala dikatakan kepadanya, bahwa Shafiyah (istri beliau) telah melakukan thawaf ifadhah, beliau bersabda, “Jika begitu hendaklah ia berangkat.”( Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (no. 1757, 1758, 1759) dalam kitab Al-Hajj, Muslim (no. 382-387) dalam kitab Al-Hajj.) Pada saat itu Shafiyah dalam keadaan haid.
Thawaf wada’ tersebut harus (wajib) menjadi sesuatu yang paling akhir (dari keberadaan kita di Mekkah). Dan dengannya kita dapat mengetahui bahwa apa yang dilakukan oleh sebagian jama’ah di saat mereka turun ke Mekkah, di sana mereka melakukan thawaf wada’, lalu kembali ke Mina, dan di Mina mereka melontar lalu berangkat menuju negeri mereka dari Mina adalah salah besar, thawaf wada’ yang mereka lakukan tidak mencukupinya, karena mereka tidak menjadikan thawaf sebagai amalan terakhir yang mereka lakukan, melainkan melontar jumrah yang mereka jadikan sebagai amalan akhir
pengertian zakat
Menurut
Bahasa(lughat), zakat berarti : tumbuh; berkembang; kesuburan atau
bertambah (HR. At-Tirmidzi) atau dapat pula berarti membersihkan atau mensucikan
(QS. At-Taubah : 10)
Menurut Hukum Islam (istilah syara'), zakat adalah nama bagi suatu pengambilan tertentu dari harta yang tertentu, menurut sifat-sifat yang tertentu dan untuk diberikan kepada golongan tertentu (Al Mawardi dalam kitab Al Hawiy)
Selain itu, ada istilah shadaqah dan infaq, sebagian ulama fiqh, mengatakan bahwa sadaqah wajib dinamakan zakat, sedang sadaqah sunnah dinamakan infaq. Sebagian yang lain mengatakan infaq wajib dinamakan zakat, sedangkan infaq sunnah dinamakan shadaqah.
Syarat-syarat Wajib Zakat
a. Muslim
b. Aqil
c. Baligh
d. Memiliki harta yang mencapai nishab
Menurut Hukum Islam (istilah syara'), zakat adalah nama bagi suatu pengambilan tertentu dari harta yang tertentu, menurut sifat-sifat yang tertentu dan untuk diberikan kepada golongan tertentu (Al Mawardi dalam kitab Al Hawiy)
Selain itu, ada istilah shadaqah dan infaq, sebagian ulama fiqh, mengatakan bahwa sadaqah wajib dinamakan zakat, sedang sadaqah sunnah dinamakan infaq. Sebagian yang lain mengatakan infaq wajib dinamakan zakat, sedangkan infaq sunnah dinamakan shadaqah.
Syarat-syarat Wajib Zakat
a. Muslim
b. Aqil
c. Baligh
d. Memiliki harta yang mencapai nishab
Cara
menghitung zakat :
Kekayaan yang dimiliki badan usaha tidak akan lepas dari salah satu atau lebih dari tiga bentuk di bawah ini :
1. Kekayaan dalam bentuk barang
2. Uang tunai
3. Piutang
Maka yang dimaksud dengan harta perniagaan yang wajib dizakati adalah yang harus dibayar (jatuh tempo) dan pajak.
Contoh :
Sebuah perusahaan meubel pada tutup buku per Januari tahun 1995 dengan keadaan sbb :
Kekayaan yang dimiliki badan usaha tidak akan lepas dari salah satu atau lebih dari tiga bentuk di bawah ini :
1. Kekayaan dalam bentuk barang
2. Uang tunai
3. Piutang
Maka yang dimaksud dengan harta perniagaan yang wajib dizakati adalah yang harus dibayar (jatuh tempo) dan pajak.
Contoh :
Sebuah perusahaan meubel pada tutup buku per Januari tahun 1995 dengan keadaan sbb :
1.Mebel belum terjual 5 set
2.Uang tunai 3. Piutang |
Rp 10.000.000
Rp 15.000.000 Rp 2.000.000 |
Jumlah
|
Rp 27.000.000
|
Utang & Pajak
|
Rp 7.000.000
|
Saldo
|
Rp 20.000.000
|
Besar zakat
= 2,5 % x Rp 20.000.000,- = Rp 500.000,-
Pada harta perniagaan, modal investasi yang berupa tanah dan bangunan atau lemari, etalase pada toko, dll, tidak termasuk harta yang wajib dizakati sebab termasuk kedalam kategori barang tetap (tidak berkembang)
Usaha yang bergerak dibidang jasa, seperti perhotelan, penyewaan apartemen, taksi, renal mobil, bus/truk, kapal laut, pesawat udara, dll, kemudian dikeluarkan zakatnya dapat dipilih diantara 2 (dua) cara:
Pada harta perniagaan, modal investasi yang berupa tanah dan bangunan atau lemari, etalase pada toko, dll, tidak termasuk harta yang wajib dizakati sebab termasuk kedalam kategori barang tetap (tidak berkembang)
Usaha yang bergerak dibidang jasa, seperti perhotelan, penyewaan apartemen, taksi, renal mobil, bus/truk, kapal laut, pesawat udara, dll, kemudian dikeluarkan zakatnya dapat dipilih diantara 2 (dua) cara:
. Syarat-syarat
Kekayaan yang Wajib di Zakati
Milik Penuh (Almilkuttam)
Yaitu : harta tersebut berada dalam kontrol dan kekuasaanya secara penuh, dan dapat diambil manfaatnya secara penuh.
Milik Penuh (Almilkuttam)
Yaitu : harta tersebut berada dalam kontrol dan kekuasaanya secara penuh, dan dapat diambil manfaatnya secara penuh.
Berkembang
Yaitu : harta tersebut dapat bertambah atau berkembang bila diusahakan atau mempunyai potensi untuk berkembang.
Cukup Nishab
Artinya harta tersebut telah mencapai jumlah tertentu sesuai dengan ketetapan syara'. sedangkan harta yang tidak sampai nishabnya terbebas dari Zakat
Yaitu : harta tersebut dapat bertambah atau berkembang bila diusahakan atau mempunyai potensi untuk berkembang.
Cukup Nishab
Artinya harta tersebut telah mencapai jumlah tertentu sesuai dengan ketetapan syara'. sedangkan harta yang tidak sampai nishabnya terbebas dari Zakat
Lebih
Dari Kebutuhan Pokok (Alhajatul Ashliyah)
Kebutuhan pokok adalah kebutuhan minimal yang diperlukan seseorang dan keluarga yang menjadi tanggungannya, untuk kelangsungan hidupnya.
Kebutuhan pokok adalah kebutuhan minimal yang diperlukan seseorang dan keluarga yang menjadi tanggungannya, untuk kelangsungan hidupnya.
Bebas
Dari hutang
Orang yang mempunyai hutang sebesar atau mengurangi senishab yang harus dibayar pada waktu yang sama (dengan waktu mengeluarkan zakat), maka harta tersebut terbebas dari zakat.
Berlalu Satu Tahun (Al-Haul)
Maksudnya adalah bahwa pemilikan harta tersebut sudah belalu satu tahun. Persyaratan ini hanya berlaku bagi ternak, harta simpanan dan perniagaan
3. Harta(maal) yang Wajib di Zakati
Binatang Ternak
Hewan ternak meliputi hewan besar (unta, sapi, kerbau), hewan kecil (kambing, domba) dan unggas (ayam, itik, burung).
Emas Dan Perak
Emas dan perak merupakan logam mulia yang selain merupakan tambang elok, juga sering dijadikan perhiasan.
Orang yang mempunyai hutang sebesar atau mengurangi senishab yang harus dibayar pada waktu yang sama (dengan waktu mengeluarkan zakat), maka harta tersebut terbebas dari zakat.
Berlalu Satu Tahun (Al-Haul)
Maksudnya adalah bahwa pemilikan harta tersebut sudah belalu satu tahun. Persyaratan ini hanya berlaku bagi ternak, harta simpanan dan perniagaan
3. Harta(maal) yang Wajib di Zakati
Binatang Ternak
Hewan ternak meliputi hewan besar (unta, sapi, kerbau), hewan kecil (kambing, domba) dan unggas (ayam, itik, burung).
Emas Dan Perak
Emas dan perak merupakan logam mulia yang selain merupakan tambang elok, juga sering dijadikan perhiasan.
Harta
Perniagaan
Harta perniagaan adalah semua yang diperuntukkan untuk diperjual-belikan dalam berbagai jenisnya, baik berupa barang seperti alat-alat, pakaian, makanan, perhiasan, dll. Perniagaan tersebut di usahakan secara perorangan atau perserikatan seperti CV, PT, Koperasi, dsb.
Hasil Pertanian
Hasil pertanian adalah hasil tumbuh-tumbuhan atau tanaman yang bernilai ekonomis seperti biji-bijian, umbi-umbian, sayur-mayur, buah-buahan, tanaman hias, rumput-rumputan, dedaunan, dll.
Ma-din dan Kekayaan Laut
Ma'din (hasil tambang) adalah benda-benda yang terdapat di dalam perut bumi dan memiliki nilai ekonomis seperti emas, perak, timah, tembaga, marmer, giok, minyak bumi, batu-bara, dll. Kekayaan laut adalah segala sesuatu yang dieksploitasi dari laut seperti mutiara, ambar, marjan, dll.
Rikaz
Rikaz adalah harta terpendam dari zaman dahulu atau biasa disebut dengan harta karun. Termasuk didalamnya harta yang ditemukan dan tidak ada yang mengaku sebagai pemiliknya.
Harta perniagaan adalah semua yang diperuntukkan untuk diperjual-belikan dalam berbagai jenisnya, baik berupa barang seperti alat-alat, pakaian, makanan, perhiasan, dll. Perniagaan tersebut di usahakan secara perorangan atau perserikatan seperti CV, PT, Koperasi, dsb.
Hasil Pertanian
Hasil pertanian adalah hasil tumbuh-tumbuhan atau tanaman yang bernilai ekonomis seperti biji-bijian, umbi-umbian, sayur-mayur, buah-buahan, tanaman hias, rumput-rumputan, dedaunan, dll.
Ma-din dan Kekayaan Laut
Ma'din (hasil tambang) adalah benda-benda yang terdapat di dalam perut bumi dan memiliki nilai ekonomis seperti emas, perak, timah, tembaga, marmer, giok, minyak bumi, batu-bara, dll. Kekayaan laut adalah segala sesuatu yang dieksploitasi dari laut seperti mutiara, ambar, marjan, dll.
Rikaz
Rikaz adalah harta terpendam dari zaman dahulu atau biasa disebut dengan harta karun. Termasuk didalamnya harta yang ditemukan dan tidak ada yang mengaku sebagai pemiliknya.
Setiap manusia di wajibkan untuk melaksanakn shalat,puasa,zakat dan haji
karena shalat,puasa,zakat dan haji merupan rukun islam yang wajib untuk du
laksanakan seperti halnya pada zakat
Zakat adalah salah satu daripada rukun Islam yang kelima. Antara hikmah dantujuan ALLAH SWT mensyariatkan zakat ialah:
Zakat adalah salah satu daripada rukun Islam yang kelima. Antara hikmah dantujuan ALLAH SWT mensyariatkan zakat ialah:
Mengagihkan sebahagian kecil kekayaan daripada golongan yang berada kepada
golongan yang kurang beradaMembersihkan diri pembayar zakat,Membersihkan
dan menyuburkan harta pembayar zakat,Mewujudkan sifat bersyukur
terhadap nikmat yang dikurniakan oleh ALLAH SWT di kalangan golongan yang
berada.Mengurangkan perasaan irihati di kalangan yang kurang bernasib
baik.Mewujudkan perhubungan antara hamba dengan ALLAH SWT di samping
perhubungan antara manusia dengan manusia.
Memberi peluang kepada golongan hartawan untuk beribadat dalam
bentuk mengeluarkan zakat daripada harta mereka.
Mewujudkan kesatuan di kalangan masyarakat Islam dalam urusan
ekonomi dan kewangan.
Memberi masyarakat satu cara mengurus ekonomi dan kewangan yang
diredhai oleh ALLAH SWT.
perhubungan antara manusia dengan manusia.
Memberi peluang kepada golongan hartawan untuk beribadat dalam
bentuk mengeluarkan zakat daripada harta mereka.
Mewujudkan kesatuan di kalangan masyarakat Islam dalam urusan
ekonomi dan kewangan.
Memberi masyarakat satu cara mengurus ekonomi dan kewangan yang
diredhai oleh ALLAH SWT.
Begitu
juga dengan shalat
Shalat merupakan salah satu kewajiban bagi kaum muslimin yang sudah mukallaf dan harus dikerjakan baik bagi mukimin maupun dalam perjalanan.
Shalat merupakan rukun Islam kedua setelah syahadat. Islam didirikan atas lima sendi (tiang) salah satunya adalah shalat, sehingga barang siapa mendirikan shalat ,maka ia mendirikan agama (Islam), dan barang siapa meninggalkan shalat,maka ia meruntuhkan agama (Islam).
Shalat harus didirikan dalam satu hari satu malam sebanyak lima kali, berjumlah 17 rakaat. Shalat tersebut merupakan wajib yang harus dilaksanakan tanpa kecuali bagi muslim mukallaf baik sedang sehat maupun sakit. Selain shalat wajib ada juga shalat – shalat sunah.
Untuk membatasi bahasan penulisan dalam permasalahan ini, maka penulis hanya membahas tentang shalat wajib kaitannya dengan kehidupan sehari – hari.
Shalat merupakan salah satu kewajiban bagi kaum muslimin yang sudah mukallaf dan harus dikerjakan baik bagi mukimin maupun dalam perjalanan.
Shalat merupakan rukun Islam kedua setelah syahadat. Islam didirikan atas lima sendi (tiang) salah satunya adalah shalat, sehingga barang siapa mendirikan shalat ,maka ia mendirikan agama (Islam), dan barang siapa meninggalkan shalat,maka ia meruntuhkan agama (Islam).
Shalat harus didirikan dalam satu hari satu malam sebanyak lima kali, berjumlah 17 rakaat. Shalat tersebut merupakan wajib yang harus dilaksanakan tanpa kecuali bagi muslim mukallaf baik sedang sehat maupun sakit. Selain shalat wajib ada juga shalat – shalat sunah.
Untuk membatasi bahasan penulisan dalam permasalahan ini, maka penulis hanya membahas tentang shalat wajib kaitannya dengan kehidupan sehari – hari.
Jawaban nomor 3
pengertian pernikahan
pengertian pernikahan
Pernikahan
merupakan ikatan diantara dua insan yang mempunyai banyak perbedaan, baik dari
segi fisik, asuhan keluarga, pergaulan, cara berfikir (mental), pendidikan dan
lain hal.
Dalam pandangan Islam, pernikahan merupakan ikatan yang amat suci dimana dua insan yang berlainan jenis dapat hidup bersama dengan direstui agama, kerabat, dan masyarakat.
Aqad nikah dalam Islam berlangsung sangat sederhana, terdiri dari dua kalimat "ijab dan qabul". Tapi dengan dua kalimat ini telah dapat menaikkan hubungan dua makhluk Allah dari bumi yang rendah ke langit yang tinggi. Dengan dua kalimat ini berubahlah kekotoran menjadi kesucian, maksiat menjadi ibadah, maupun dosa menjadi amal sholeh. Aqad nikah bukan hanya perjanjian antara dua insan. Aqad nikah juga merupakan perjanjian antara makhluk Allah dengan Al-Khaliq. Ketika dua tangan diulurkan (antara wali nikah dengan mempelai pria), untuk mengucapkan kalimat baik itu, diatasnya ada tangan Allah SWT, "Yadullahi fawqa aydihim".
Syarat-syarat Nikah
Dalam pandangan Islam, pernikahan merupakan ikatan yang amat suci dimana dua insan yang berlainan jenis dapat hidup bersama dengan direstui agama, kerabat, dan masyarakat.
Aqad nikah dalam Islam berlangsung sangat sederhana, terdiri dari dua kalimat "ijab dan qabul". Tapi dengan dua kalimat ini telah dapat menaikkan hubungan dua makhluk Allah dari bumi yang rendah ke langit yang tinggi. Dengan dua kalimat ini berubahlah kekotoran menjadi kesucian, maksiat menjadi ibadah, maupun dosa menjadi amal sholeh. Aqad nikah bukan hanya perjanjian antara dua insan. Aqad nikah juga merupakan perjanjian antara makhluk Allah dengan Al-Khaliq. Ketika dua tangan diulurkan (antara wali nikah dengan mempelai pria), untuk mengucapkan kalimat baik itu, diatasnya ada tangan Allah SWT, "Yadullahi fawqa aydihim".
Syarat-syarat Nikah
Akad pernikahan
memiliki syarat-syarat syar’i, yaitu
terdiri dari 4
syarat:
o Syarat-syarat akad
o Syarat-syarat sah nikah
o Syarat-syarat pelaksana akad (penghulu)
o Syarat-syarat luzum (keharusan)
1. Syarat-syarat Akad
a). Syarat-syarat shighah: lafal bermakna ganda, majelis ijab qabul harus bersatu,
kesepakatan kabul dengan ijab, menggunakan ucapan ringkas tanpa menggantukan
ijab dengan lafal yang menunjukkan masa depan.
b). Syarat-syarat kedua orang yang berakad:
± keduanya
berakal dan mumayyiz
± keduanya mendengar ijab dan kabul , serta memahami maksud dari
ijab dan qabul adalah untuk membangun mahligai pernikahan, karena intinya
kerelaan kedua belah pihak.
c). Syarat-syarat kedua mempelai:
o suami disyaratkan seorang muslim
·
istri disyaratkan
bukan wanita yang haram untuk dinikahi, seperti; ibu, anak perempuan, saudara
perempuan, bibi dari bapak dan dari ibunya.
o disyaratkan menikahi wanita yang telah dipastikan
kewanitaannya, bukan waria.
2.
Syarat-syarat Sah Nikah
a). Calon istri tidak diharamkan menikah dengan calon suami
b). Kesaksian atas pernikahan
³ keharusan adanya saksi
³ waktu
kesaksian, yaitu kesaksian arus ada saat pembuatan akad
³ Hikmah adanya
kesaksian
Pernikahan mengandung arti penting dalam islam, karena dapat
memberi kemaslahatan dunia dan akhirat. Dengan demikian ia harus diumumkan dan
tidak disembunyikan. Dan cara untuk mengumumkannya adalah dengan
menyaksikannya.
³ Syarat-syarat
saksi
¥ berakal,
baligh, dan merdeka
¥ para saksi
mendengar dan memahami ucapan kedua orang yang berakad
¥ jumlah saksi, yatu dua orang laki-laki atau satu orang
laki-laki dan dua orang perempuan. Q. S. Al-Baqoroh : 282
¥ Islam
¥ adil
c). Lafal (Shighah) akad perkawinan bersifat kekal
Demi keabsahan akad nikah, shighah disyaratkan untuk selamanya
(kekal) dan tidak bertempo (nikah mut’ah).
3.
Syarat-syarat Pelaksana Akad (Penghulu)
Maksudnya ialah orang yang menjadi pemimpin dalam akad adalah
orang yang berhak melakukannya.
a). Setiap suami istri berakal, baligh, dan merdeka
b). Setiap orang yang berakad harus memiliki sifat syar’I : asli, wakil, atauwali dari salah satu kedua mempelai.
4.
Syarat-syarat Luzum (Keharusan)
a). Orang yang mengawinkan orang yang
tidak memiliki kemampuan adalah orang yang dikenal dapat memilihkan pasangan yang baik, sepertikeluarga atau kerabat dekat.
b). Sang suami harus setara dengan istri
c). Mas kawin harus sebesar mas kawin yang sepatutnya atau semampunya.
d). Tidak ada penipuan mengenai kemampuan sang suami.
e).Calon suami harus bebas dari sifat-sifat buruk yang menyebabkan diperbolehkannya tuntutan perpisahan
(perceraian).
Jwaban
nomor 4
Hukum islam telah menerangkan dan mengatur
hal-hal ketentuan yang berkaitan dengan pembagian harta warisan dengan aturan
yang sangat adil sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Al-Qur'an dan
Al-Hadist, dalam hukum waris ini telah ditetapkan dengan rinci bagian
masing-masing ahli waris baik laki-laki ataupun perempuan mukai dari bapak,
ibu, kakek, nenek, suami, istri, anak, saudara, dan seterusnya. Adapun
ketetapan mawaris dijelaskan pula dalam hadist, hanya hukum waris lah yang
dijelaskan secara terperinci dalam Al-uran sebab waris merupakan salah satu
bentuk kepemilikan yang legal dalam islam ataupun dalam negara serta di
benarkan adanya oleh Allah swt.
Adapun sumber hukum ilmu mawaris adalah Al-Qur'an dan Hadist atau Sunah Rosul. Adapun sumber-sumber hukum islam yang berhubungan dengan masalah mawaris, antara lain :
Adapun sumber hukum ilmu mawaris adalah Al-Qur'an dan Hadist atau Sunah Rosul. Adapun sumber-sumber hukum islam yang berhubungan dengan masalah mawaris, antara lain :
- Al-Qur'an surah an-nisa ayat 7
لِّلرِّجَالِ نَصِيبٌ۬ مِّمَّا تَرَكَ ٱلۡوَٲلِدَانِ
وَٱلۡأَقۡرَبُونَ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٌ۬ مِّمَّا تَرَكَ ٱلۡوَٲلِدَانِ
وَٱلۡأَقۡرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنۡهُ أَوۡ كَثُرَۚ نَصِيبً۬ا مَّفۡرُوضً۬ا (٧)
Artinya :
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian [pula] dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”. (7)
Artinya :
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian [pula] dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”. (7)
- Al-Quran surah an-nisa ayat 11-12
يُوصِيكُمُ ٱللَّهُ
فِىٓ أَوۡلَـٰدِڪُمۡۖ لِلذَّكَرِ مِثۡلُ حَظِّ ٱلۡأُنثَيَيۡنِۚ فَإِن كُنَّ
نِسَآءً۬ فَوۡقَ ٱثۡنَتَيۡنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَۖ وَإِن كَانَتۡ
وَٲحِدَةً۬ فَلَهَا ٱلنِّصۡفُۚ وَلِأَبَوَيۡهِ لِكُلِّ وَٲحِدٍ۬ مِّنۡہُمَا
ٱلسُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ ۥ وَلَدٌ۬ۚ فَإِن لَّمۡ يَكُن لَّهُ ۥ
وَلَدٌ۬ وَوَرِثَهُ ۥۤ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ ٱلثُّلُثُۚ فَإِن كَانَ لَهُ ۥۤ
إِخۡوَةٌ۬ فَلِأُمِّهِ ٱلسُّدُسُۚ مِنۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٍ۬ يُوصِى بِہَآ أَوۡ
دَيۡنٍۗ ءَابَآؤُكُمۡ وَأَبۡنَآؤُكُمۡ لَا تَدۡرُونَ أَيُّهُمۡ أَقۡرَبُ لَكُمۡ
نَفۡعً۬اۚ فَرِيضَةً۬ مِّنَ ٱللَّهِۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمً۬ا (١١) ۞
وَلَڪُمۡ نِصۡفُ مَا تَرَكَ أَزۡوَٲجُڪُمۡ إِن لَّمۡ يَكُن لَّهُنَّ وَلَدٌ۬ۚ فَإِن ڪَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ۬ فَلَڪُمُ ٱلرُّبُعُ مِمَّا تَرَڪۡنَۚ مِنۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٍ۬ يُوصِينَ بِهَآ أَوۡ دَيۡنٍ۬ۚ وَلَهُنَّ ٱلرُّبُعُ مِمَّا تَرَكۡتُمۡ إِن لَّمۡ يَڪُن لَّكُمۡ وَلَدٌ۬ۚ فَإِن ڪَانَ لَڪُمۡ وَلَدٌ۬ فَلَهُنَّ ٱلثُّمُنُ مِمَّا تَرَڪۡتُمۚ مِّنۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٍ۬ تُوصُونَ بِهَآ أَوۡ دَيۡنٍ۬ۗ وَإِن كَانَ رَجُلٌ۬ يُورَثُ ڪَلَـٰلَةً أَوِ ٱمۡرَأَةٌ۬ وَلَهُ ۥۤ أَخٌ أَوۡ أُخۡتٌ۬ فَلِكُلِّ وَٲحِدٍ۬ مِّنۡهُمَا ٱلسُّدُسُۚ فَإِن ڪَانُوٓاْ أَڪۡثَرَ مِن ذَٲلِكَ فَهُمۡ شُرَڪَآءُ فِى ٱلثُّلُثِۚ مِنۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٍ۬ يُوصَىٰ بِہَآ أَوۡ دَيۡنٍ غَيۡرَ مُضَآرٍّ۬ۚ وَصِيَّةً۬ مِّنَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ۬ (١٢)
Artinya :
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang [pembagian pusaka untuk] anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya [saja], maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. [Pembagian-pembagian tersebut di atas] sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau [dan] sesudah dibayar hutangnya. [Tentang] orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat [banyak] manfa’atnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (11) Dan bagimu [suami-suami] seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau [dan] sesudah dibayar hutangnya.
وَلَڪُمۡ نِصۡفُ مَا تَرَكَ أَزۡوَٲجُڪُمۡ إِن لَّمۡ يَكُن لَّهُنَّ وَلَدٌ۬ۚ فَإِن ڪَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ۬ فَلَڪُمُ ٱلرُّبُعُ مِمَّا تَرَڪۡنَۚ مِنۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٍ۬ يُوصِينَ بِهَآ أَوۡ دَيۡنٍ۬ۚ وَلَهُنَّ ٱلرُّبُعُ مِمَّا تَرَكۡتُمۡ إِن لَّمۡ يَڪُن لَّكُمۡ وَلَدٌ۬ۚ فَإِن ڪَانَ لَڪُمۡ وَلَدٌ۬ فَلَهُنَّ ٱلثُّمُنُ مِمَّا تَرَڪۡتُمۚ مِّنۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٍ۬ تُوصُونَ بِهَآ أَوۡ دَيۡنٍ۬ۗ وَإِن كَانَ رَجُلٌ۬ يُورَثُ ڪَلَـٰلَةً أَوِ ٱمۡرَأَةٌ۬ وَلَهُ ۥۤ أَخٌ أَوۡ أُخۡتٌ۬ فَلِكُلِّ وَٲحِدٍ۬ مِّنۡهُمَا ٱلسُّدُسُۚ فَإِن ڪَانُوٓاْ أَڪۡثَرَ مِن ذَٲلِكَ فَهُمۡ شُرَڪَآءُ فِى ٱلثُّلُثِۚ مِنۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٍ۬ يُوصَىٰ بِہَآ أَوۡ دَيۡنٍ غَيۡرَ مُضَآرٍّ۬ۚ وَصِيَّةً۬ مِّنَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ۬ (١٢)
Artinya :
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang [pembagian pusaka untuk] anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya [saja], maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. [Pembagian-pembagian tersebut di atas] sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau [dan] sesudah dibayar hutangnya. [Tentang] orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat [banyak] manfa’atnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (11) Dan bagimu [suami-suami] seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau [dan] sesudah dibayar hutangnya.
AHLI WARIS
Ahli Waris dari Golongan Laki-laki
Ahli waris (yaitu orang yang berhak mendapatkan
warisan) dari kaum laki-laki ada lima belas: (1) anak laki-laki, (2) cucu
laki-laki (dari anak laki-laki), (3) bapak, (4) kakek (dari pihak bapak), (5)
saudara kandung laki-laki, (6) saudara laki-laki seayah, (7) saudara laki-laki
seibu, (8) anak laki-laki dari saudara kandung laki-laki, (9) anak laki-laki
dari saudara laki-laki seibu, (10) paman (saudara kandung bapak), (11) paman
(saudara bapak seayah), (12) anak laki-laki dari paman (saudara kandung ayah),
(13) anak laki-laki paman seayah, (14) suami, (15) laki-laki yang memerdekakan
budak
CatatanBagi cucu laki-laki yang disebut sebagai ahli waris di dalamnya tercakup cicit (anak dari cucu) dan seterusnya, yang penting laki-laki dan dari keturunan anak laki-laki. Begitu pula yang dimaksud dengan kakek, dan seterusnya.
. Ahli Waris dari Golongan Wanita
Catatan
Cucu perempuan yang dimaksud di atas mencakup pula cicit dan seterusnya, yang penting perempuan dari keturunan anak laki-laki. Demikian pula yang dimaksud dengan nenek --baik ibu dari ibu maupun ibu dari bapak-- dan seterusnya.
CARA
PEMBAGIAN HARTA WARISAN
Dalam ayat ini Allah l menjelaskan bahwa ahli waris dari furu’
(keturunan/anak cucu si mayit) ada tiga macam;
1. Lelaki semua: Allah l tidak menentukan jatah waris tertentu
bagi mereka. Bentuk perwarisan mereka, dengan cara ta’shib yaitu mendapatkan
apa yang tersisa dari harta waris, setelah dibagikan kepada ashhabul furudh.2
Ahli waris yang mewarisi dengan cara ta’shib ini disebut dengan ‘ashabah. Jika
berjumlah satu orang, maka semua yang tersisa setelah pembagian terhadap
ashhabul furudh menjadi miliknya. Jika berjumlah lebih dari satu orang (dua
orang ke atas), maka apa yang tersisa dari pembagian tersebut dibagi sama rata
sesama mereka.
2. Perempuan semua: Jika berjumlah satu orang, maka jatahnya
adalah ½ (setengah) dari harta waris. Jika berjumlah lebih dari satu orang (dua
orang ke atas), maka jatah warisnya adalah 2/3 (dua pertiga) dengan dibagi sama
rata sesama mereka.
3. Terdiri dari lelaki dan perempuan: Allah l tidak menentukan
jatah waris tertentu bagi mereka. Sehingga mereka mewarisi dengan cara ta’shib.
Adapun cara pembagian harta waris tersebut di antara mereka, maka dengan sistem
jatah lelaki dua kali lipat dari jatah perempuan.
Adapun ushul (orangtua si mayit dan yang di atasnya), mempunyai
dua keadaan:
1. Si mayit mempunyai beberapa anak, baik lelaki maupun perempuan:
- Jika si mayit mempunyai sejumlah anak lelaki atau lelaki dan
perempuan, maka orangtua si mayit baik bapak maupun ibu mendapatkan 1/6
(seperenam) dari harta waris, sedangkan sisanya untuk anak-anak si mayit
(sebagai ‘ashabah). ‘Ashabah dari jenis furu’ lebih kuat kedudukannya dari
‘ashabah jenis ushul, karena furu’ merupakan bagian dari si mayit.
- Jika anak-anak si mayit tersebut dari kalangan perempuan saja,
maka mereka mengambil jatah yang telah ditentukan Allah l untuk mereka yaitu
2/3 (duapertiga), dan jika tersisa maka untuk bapak si mayit, karena dia yang
paling berhak mendapatkannya dari kalangan lelaki (‘ashabah). Jika bersama
anak-anak perempuan dan bapak tersebut ada ibu si mayit, maka tak terbayangkan
si bapak bisa mendapatkan sisa dari harta waris tersebut.3
2. Si mayit tidak mempunyai anak. Dalam kondisi semacam ini kedua
orangtua si mayit mewarisi hartanya. Sang ibu mendapat 1/3 (sepertiga),
sedangkan bapak mendapatkan sisanya (‘ashabah). Kecuali jika si mayit mempunyai
dua orang saudara atau lebih, maka sang ibu mendapat 1/6 (seperenam) dan
sisanya untuk bapak. Kemudian jika mencermati firman Allah l:
“Dan ia diwarisi oleh kedua orangtuanya (saja)…”
Maka amat memungkinkan bagi selain kedua orangtua untuk mewarisi
harta si mayit, sebagaimana dalam kasus yang dikenal dengan ‘Umariyyatani’,
yaitu;
1) Si mayit tidaklah meninggalkan ahli waris kecuali suami, ibu,
dan bapak.
2) Si mayit tidaklah meninggalkan ahli waris kecuali istri, ibu,
dan bapak.
Dalam kondisi semacam ini suami maupun istri mengambil jatahnya
terlebih dahulu (suami ½, sedangkan istri ¼), kemudian ibu mendapat 1/3 dari
harta yang tersisa, sedangkan bapak mendapatkan sisanya. Karena Allah l telah
menentukan jatah bapak dua kali lipat dari jatah ibu di saat yang mewarisi
hanya mereka berdua saja, maka seperti itu pulalah manakala mereka berdua
mewarisi bersama salah seorang ahli waris lainnya (sebagaimana kasus di atas).
Wallahu a’lam.
Ayat kedua adalah firman Allah l:
“Dan bagi kalian (para suami) setengah (1/2) dari harta yang
ditinggalkan oleh istri-istri kalian……..” (An-Nisa’: 12)4
Dalam ayat ini Allah l menjelaskan bahwa suami mempunyai dua
keadaan:
1. Istrinya yang meninggal dunia tersebut mempunyai anak baik
lelaki maupun perempuan. Dalam kondisi semacam ini, suami mendapatkan ¼
(seperempat) dari harta waris.
2. Istrinya yang meninggal dunia tersebut tidak mempunyai anak.
Dalam kondisi semacam ini, suami mendapatkan ½ (setengah) dari harta waris.
Dalam ayat ini pula Allah l menjelaskan bahwa istri juga mempunyai
dua keadaan:
1. Suaminya yang meninggal dunia tersebut mempunyai anak, baik
lelaki maupun perempuan. Dalam kondisi semacam ini, istri mendapatkan 1/8
(seperdelapan).
2. Suaminya yang meninggal dunia tersebut tidak mempunyai anak.
Dalam kondisi semacam ini, istri mendapatkan ¼ (seperempat).
Adapun anak-anak ibu (saudara seibu dari si mayit), maka Allah l
menjelaskan bahwa mereka bisa mewarisi dalam kasus kalalah.5 Jika jumlahnya
satu orang maka jatah warisnya adalah 1/6 (seperenam), dan jika dua orang atau
lebih maka mereka bersekutu dalam 1/3 (sepertiga). Tidak ada perbedaan jatah
antara lelaki dan perempuan di antara mereka (dibagi sama rata). Karena
–wallahu a’lam– keterkaitan mereka dengan si mayit sebatas dari jalur ibu
(perempuan) saja tanpa ada jalur dari bapak yang dapat menjadikan lelaki lebih
banyak jatahnya dari perempuan.
Ayat ketiga adalah firman Allah l:
“Mereka meminta fatwa kepadamu tentang kalalah. Katakanlah: ‘Allah
memberi fatwa kepadamu tentang kalalah…’.” (An-Nisa’: 176)6
Dalam ayat ini Allah l menjelaskan jatah waris saudara-saudara si
mayit selain dari jalur ibunya, dalam hal ini adalah saudara si mayit
sekandung, dan juga saudara sebapak. Mereka terbagi menjadi tiga:
1. Lelaki semua: Mereka mewarisi bersama-sama (tanpa ada jatah
tertentu) dan dibagi sama rata sesama mereka.
2. Perempuan semua: Mereka mewarisi dengan jatah tertentu; jika
satu orang maka mewarisi ½ (setengah) dan jika dua orang atau lebih maka
mewarisi 2/3 (duapertiga) yang dibagi sama rata sesama mereka.
3. Lelaki dan perempuan: Mereka mewarisi bersama-sama (tanpa ada
jatah tertentu) dan dibagi dengan sistem jatah lelaki dua kali lipat dari jatah
perempuan.
Adapun sabda Rasulullah n:
أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ لِأَوْلَى رَجُلٍ
ذَكَرٍ
“Berikanlah bagian/jatah pembagian waris yang Allah tentukan (1/2,
1/3, ¼, 1/6, 1/8, 2/3) kepada para pemiliknya, dan apa yang tersisa maka untuk
ahli waris lelaki yang paling kuat (berhak).”
(HR. Al-Bukhari, no. 6733, dari sahabat Abdullah bin Abbas c)
Maka dapat
diambil darinya jatah waris selain ushul (orangtua dan yang di atasnya), furu’
(keturunan/anak cucu si mayit), dan saudara-saudara si mayit. Tidaklah mewarisi
dari mereka kecuali yang lelaki dan mewarisinya pun tanpa ada jatah tertentu
(dengan cara ta’shib). Jika mereka terdiri dari beberapa jenis ahli waris, maka
didahulukan yang lebih kuat/berhak, seperti: paman lebih didahulukan daripada
anak paman tersebut, dan yang sekandung lebih didahulukan daripada yang sebapak
saja.
Sedangkan firman
Allah l:
“Orang-orang yang
mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya
(daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui segala sesuatu.” (Al-Anfal: 75)
menerangkan
tentang hak waris dzawil arham (karib kerabat) yang bukan ashhabul furudh dan
bukan pula ‘ashabah. Akan tetapi ayat ini bukan sebagai nash dalam permasalahan
waris. Lebih dari itu, para ulama berbeda pendapat tentang waris dzawil arham
(karib kerabat) tersebut.”7 (Tashilul Faraidh, hal. 7-9)
1 Kelengkapan
ayat dan artinya bisa dilihat pada pembahasan yang telah lalu ‘Dasar Pijakan
Ilmu Al-Faraidh’.
2 Lihat kembali
maknanya pada pembahasan ‘Bentuk Perwarisan dalam Hukum Waris Islam’.
3 Menurut hemat
kami –wallahu a’lam– dalam kondisi semacam ini bapak masih mendapatkan sisa
waris, dengan rincian sebagai berikut; anak-anak perempuan mendapat 2/3 karena
jumlah mereka lebih dari satu, ibu mendapat 1/6 karena ada anak-anak si mayit,
sedangkan bapak sebagai ‘ashabah. Setelah dihitung dengan pokok masalah (ashlul
mas’alah) yaitu 6, maka anak-anak perempuan mendapat 4, ibu mendapat 1 dan
sisanya 1 untuk bapak.
4 Kelengkapan
ayat dan artinya bisa dilihat pada pembahasan yang telah lalu ‘Dasar Pijakan
Ilmu Al-Faraidh’.
5 Kalalah adalah
seseorang yang meninggal dunia tanpa mempunyai bapak dan anak.
6 Kelengkapan ayat dan artinya bisa dilihat pada pembahasan yang
telah lalu ‘Dasar Pijakan Ilmu Al-Faraidh’.
JAWABAN NOMOR 5
orang yang memiliki akhlak mulia yakni orang yang berprilaku baik
Orang yang berakhlak mulia akan bersifat sabar terhadap
kejadian-kejadian yang menimpa dirinya. Apapun kejadian dihadapi dengan tenang,
pokoknya selalu cool. orang yang
berakhlak mulia itu biasanya berseri-seri bukan karena cantik atau cakep tapi
karena banyak sujud/ beribadah kepada Allah, yang membuat wajahnya memancarkan
aura yang baik.akhlak mulia adalah kelemah lembutan tutur kata dan kelakuan.
Orang yang ber akhlak mulia itu biasanya sopan dan ramah. Orang-orang yang
berakhlak luhur, berwatak mulia dan berperilaku bersih adalah manusia yang
paling dicintai oleh Baginda Nabi dan akan mendapat tempat terdekat dengan
beliau kelak pada Hari Kiamat. Dalam sebuah hadits, beliau menyatakan
bahwasanya orang yang paling beliau cintai dan akan mendapat tempat terdekat
dengan beliau pada Hari Kiamat adalah yang paling mulia akhlaknya. Sedangkan
orang yang paliang beliau benci dan yang paling jauh tempatnya dengan beliau
pada Hari Kiamat kelak adalah orang yang buruk akhlaknya, yaitu Ats-Tsartsarun
(orang-orang yang banyak bicara), Al-Mutasyadidiqun (orang-orang-orang yang
suka memanjangkan pembicaraan) dan Al-Mutafayhiqun (orang-orang yang congkak.).
Berikut
cirri-ciri orang yang memiliki akhlak mulia
1.Ikhlas dalam berilmu serta takut dari riya’.
2.Jujur dalam segala hal.
3.Sungguh-sungguh dalam menjalankan amanah.
4.Menjunjung tinggi hak-hak Allâh dan
Rasul-Nya.
5.Lembut hatinya.
6.Banyak berdzikir kepada Allâh Ta'ala.
7.Tawadhu’ (rendah hati).
8.Banyak bertaubat.
9.Pemalu.
10. Senantiasa menjaga lisan mereka, tidak suka menggunjing.
11. Banyak memaafkan dan sabar.
12. Banyak bersedekah.
JAWABAN NOMOR 6
Pandangan ALLAH terhadap orang yang taqwa
Terdapat di dalam surat Ali-Imran ayat 102, artinya: "Hai
orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah SWT. dengan sebenar-benar
taqwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan
dalam keadaan beragamaIslam". .
Di dalam surat Al-A'raf ayat 35, artinya adalah : "Barang-
siapa yang bertacjwa dan berlaku baik, tidak akan ada rasa khawatir pada diri
mereka dan mereka tidak akan berduka cita". .
Terdapat di dalam surat Al-Baqarah ayat 103, artinya:
"Sekiranya mereka beriman dan bertaqwa, tentu akan menda¬patkan pahala
yang lebih baik di sisi Allah, sekiranya mereka mengetahui". .
Di dalam surat An-Nahl ayat 128, yang artinya adalah :
"Sesungguhnya Allah menyertai orang-orang yang taqwa dan orang-orang yang
berbuat kebajikan". .
Terdapat pada surat Al-Maidah ayat 96, artinya "Taqwa- lah
kamu kepada Allah SWT. yang kepada-Nya nanti kamu akan dikumpulkan".
.
Surat Al-Ahzab, ayat 70 - 71, artinya adalah : "Hai orang-
orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang
benar, niscaya Allah menghendaki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu
dosa-dosamu.
Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul- Nya, maka sesungguhnya
ia telah mendapat kemenangan yang besar".
Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, adalah: "Aku berpesan
kepadamu dengan taqwa kepada Allah dalam segala urusanmu baik yang tersembunyi
ataupun yang terang-terangan".
Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad juga, artinya :
"Aku berpesan kepadamu untuk taqwa kepada Allah, karena taqwa itu pokok
pangkal segala sesuatu". Hadits riwayat Tirmidzi, artinya adalah :
"Taqwalah kepada Allah di dalam segala sesuatu yang kamu
ketahui",
Di dalam hadits yang telah diriwayatkan oleh Muslim, yakni artinya
adalah : "Ya Allah!. Sesungguhnya aku mohon kepada-Mu bimbingan, taqwa,
perlindungan, dari perbuatan haram, dan kecukupan". hadits yang telah
diriwayatkan oleh Thabrani, artinya : "Wajib atas kamu taqwa kepada Allah,
sesungguhnya taqwa itu mengumpulkan setiap kebaikan dan wajib atasmu berjihad
di jalan Allah, karena sesungguhnya jihad ke jalan Allah kependetaan dalam
Islam. Wajib atas kamu ingat kepada Allah dan membaca kitab-Nya, maka
sesungguh¬nya Dia itu cahaya bagimu di bumi dan ingatan untuk kamu di langit.
Dan sembunyikanlah lidahmu kecuali dalam kebaikan, karena sesungguhnya dengan
demikian itulah kamu mengalahkan setan". hadits riwayat Ahmad yang artinya
adalah sebagai berikut: "Sesungguhnya orang yang paling utama kepada-Ku
ada¬lah orang-orang yang taqwa, siapa pun mereka, dan di mana pun mereka
berada".
Demikianlah dalil-dalil yang menerangkan atau memperjelas sebagai
bukti taqwa, untuk dijadikan sebagai bahan rujukan agar kita dapat memelihara
iman kita kepada Allah, juga agar tetap taqwa kepada Allah SWT. karena hanya
kepada-Nyalah kita akan kembali juga hanya kepada Allah jualah] tempat
segala-galanya.
Ciri-ciri orang bertakwa :
1. Beriman kepada ALLAH dan yang
ghaib(QS. 2:2-3)
2. Sholat, zakat, puasa(QS. 2:3, 177 dan 183)
3. Infak disaat lapang dan sempit(QS. 3:133-134)
4. Menahan amarah dan memaafkan orang lain(QS. 3: 134)
5. Takut pada ALLAH(QS. 5:28)
6. Menepati janji (QS. 9:4)
7. Berlaku lurus pada musuh ketika mereka pun melakkukan hal yang sama(QS. 9:7)
8. Bersabar dan menjadi pendukung kebenaran (QS. 3:146)
9. Tidak meminta ijin untuk tidak ikut berjihad (QS. 9:44)
10. Berdakwah agar terbebas dari dosa ahli maksiat (QS. 6:69)
1.
1. Mempercayai
sesuatu yang ghaib (seperti adanya Malaikat, Mizan, Surga, dll)
2. Menegakkan shalat wajib (waktunya, syaratnya, rukunnya, khusu'nya)
3. Menafkahkan rizqinya (untuk kebaikan serta mengeluarkan zakatnya)
4. Mempercayai sesuatu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
2. Menegakkan shalat wajib (waktunya, syaratnya, rukunnya, khusu'nya)
3. Menafkahkan rizqinya (untuk kebaikan serta mengeluarkan zakatnya)
4. Mempercayai sesuatu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
JAWABAN NOMOR 7
Karena dengan
kita beriman kepada ALLAH kita mampu mersakan dampak yang baik seperti halnya dengan beriman kita dapat melenyapkan kepercayaan pada kekuasaan benda.dan
hanya percaya pada kekuatan dan
kekuasaan Allah firman Allah surat al-al-Fatihah
1-7.
. Selain itu dengan beriman kepada ALLAH dapat menanamkan semangat berani menghadapi maut.
Takut menghadapi maut menyebabkan manusia menjadi pengecut. Banyak di antara manusia yang tidak berani mengemukakan kebenaran, karenatakut menghadapi resiko. Orang yang beriman yakin sepenuhnya bahwa kematian di tangan Allah. Pegangan orang beriman mengenai soal hidup dan mati adalah firman Allah dalam QS. al-Nisa’/4:78 beriman kepada ALLAH juga mampu memberikan ketenangan jiwa seperti yang terkandung dalam Q.S. al-Ra’du/13: 28.
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tentram.” Beriman kepada ALLAH juga dapat mewujudkan kehidupan yang baik seperti yang terkandung dalam Q.S al-Nahal/16: 97.
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. ”
. Selain itu dengan beriman kepada ALLAH dapat menanamkan semangat berani menghadapi maut.
Takut menghadapi maut menyebabkan manusia menjadi pengecut. Banyak di antara manusia yang tidak berani mengemukakan kebenaran, karenatakut menghadapi resiko. Orang yang beriman yakin sepenuhnya bahwa kematian di tangan Allah. Pegangan orang beriman mengenai soal hidup dan mati adalah firman Allah dalam QS. al-Nisa’/4:78 beriman kepada ALLAH juga mampu memberikan ketenangan jiwa seperti yang terkandung dalam Q.S. al-Ra’du/13: 28.
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tentram.” Beriman kepada ALLAH juga dapat mewujudkan kehidupan yang baik seperti yang terkandung dalam Q.S al-Nahal/16: 97.
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. ”
JAWABAN NOMOR 8
Kata nasib sendiri berasal dari bahasa arab yang berarti
al hazzhu min kulli syai’in (bagian dari segala sesuatu) bentuk pluralnya adalah anshiba dan anshibah. Dari aspek majaz : jika disebutkan lii nashiibun minhu artinya kami mempunyai bagian tertentu pada asalnya.
An nashib
juga bermakna al haudhu yaitu bagian dari daerah tertentu di bumi sebagaimana disebutkan al Jauhari. (Lisanul Arab juz I hal 974, Maktabah Syamilah)
Dari kedua makna tersebut, nasib bisa diartikan dengan bagian yang diterima seseorang, baik itu berupa kesenangan maupun kesusahan, keuntungan maupun kerugian, kebaikan maupun keburukan.
Kata nasib sendiri berasal dari bahasa arab yang berarti
al hazzhu min kulli syai’in (bagian dari segala sesuatu) bentuk pluralnya adalah anshiba dan anshibah. Dari aspek majaz : jika disebutkan lii nashiibun minhu artinya kami mempunyai bagian tertentu pada asalnya.
An nashib
juga bermakna al haudhu yaitu bagian dari daerah tertentu di bumi sebagaimana disebutkan al Jauhari. (Lisanul Arab juz I hal 974, Maktabah Syamilah)
Dari kedua makna tersebut, nasib bisa diartikan dengan bagian yang diterima seseorang, baik itu berupa kesenangan maupun kesusahan, keuntungan maupun kerugian, kebaikan maupun keburukan.
Seperti yang di firmankan ALLAH QS Ar-ra'd ayat 11
لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِّن بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ
مِنْ أَمْرِ اللّهِ إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ
مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللّهُ بِقَوْمٍ سُوءاً فَلاَ مَرَدَّ لَهُ
وَمَا لَهُم مِّن دُونِهِ مِن وَالٍ
١١--
baginya (setiap manusia) ada malaikat-malaikat yang
selalu mengikutinya secara bergiliran di depan dan di belakangnya. Mereka
menjaganya atas perintah Allah.sesungguhnya
Allah tidak akan mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan
yang ada pada diri mereka. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap
suatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya. Sekali-kali tidak ada
pelindung bagi mereka selain dia.
Jadi ALLAH dapat mentukan nasib seseorang jika orang
tersebut mau melakukan usaha atas apa yang ingin mereka capai atau ingin mereka
ubah.
JAWABAN NOMOR 9
Adapula perspektif moral. Perilaku dapat disebut sebagai
kejahatan hanya jika memiliki 2 faktor: 1) mens rea(adanya niatan
melakukan perilaku), dan 2) actus reus (perilaku terlaksana
tanpa paksaan dari orang lain). Contohnya: pembunuhan disebut kejahatan ketika
pelaku telah memiliki niat menghabisi nyawa orang lain, serta ide dan
pelaksanaan perilaku pembunuhan dimiliki pelaku sendiri tanpa paksaan dari
orang lain. Jika pelaku ternyata memiliki gangguan mental yang menyebabkan
niatnya terjadi diluar kesadaran, contoh: perilaku kejahatan terjadi pada saat
tidur atau tidak sadar, maka faktor mens rea-nya dianggap tidak utuh, atau
tidak bisa secara gamblang dinyatakan sebagai kejahatan, karena orang dengan
gangguan mental tidak bisa dimintai pertanggungjawaban atas perilakunya.
Alas an lain mengapa mereka melakukan
kejahatan yakni mereka lupa dengan ALLAH,mereka lupa bahwa ALLAH bahwa ALLAH
tidak akan memberikan cobaan di atas kemampuan hambanya sehingga tanpa berfikir
panjang mereka langsung dengan mudahnya melakukan kejahatan,di dalam AL QUR’AN
maupun hadsist telah di bahas bahwa setiap orang yang melakukan kejahatan pasti
akan mendapatkan balasan yang setimpal baik di dunia maupun akhirat mereka pun
akan mendapatkan pembalasan pada hari pembalasan nantinya setelah kiamat, adapun
hal lain yang menyebabkan orang berbuat kejahatan yakni kurangnya iman mereka
terhadap ALLAH, Seseorang
sering kali khilaf melakukan kejahatan / kerugian pada orang lain bisa
disebabkan oleh beberapa hal.
Kebanyakan
disebabkan oleh keadaan yang membuat orang berpikir ’simple’ untuk memenuhi
kebutuhan atau kepuasan seperti yang dimiliki oleh orang lain. Misal, ada orang
yang hidup serba pas-pasan, tetapi disekitarnya ada orang yang serba berlebihan
dan orang itu memamerkan segala kelebihan yang dia miliki. Hal itulah yang akan
menyebabkan orang menghalalkan segala cara untuk membuat orang yang hidup
berlebihan itu untuk berbagi, yaitu biasanya dengan cara ‘mengambil secara
paksa dari orang tersebut’.Jadi, kesombongan bisa jadi salah satu penyebab
terjadinya kejahatan.“Kesempatan bukan hanya karena ada niat pelakunya, tapi
juga karena ada KESEMPATAN”. Jadi, waspadalah setiap saat. Jangan lengah bahkan
terhadap orang yang anda anggap orang baik, apalagi orang yang anda LIHAT
SEPERTI orang baik. Karena orang paling baik diduniapun pasti pernah khilaf
saat kesempatan itu menjelma menjadi sebuah godaan yang amat sangat
menggiurkan.
Faktor
lainnya adalah DENDAM. Orang baik juga bisa berubah menjadi jahat karena faktor
dendam. Rasa tidak terima terhadap orang-orang yang berbuat jahat pada dirinya,
sehingga menimbulkan hasrat untuk melakukan hal yang sama terhadap si penjahat
atau terhadap orang lain.
Sering
kali kejahatan terlihat lebih mudah dilakukan dari pada melakukan perbuatan
baik. Maka, jika anda adalah orang baik dan selalu dipandang baik oleh
orang-orang disekitar anda, jangan pernah mencoba melakukan hal-hal gila yang
akan membuat orang lain marah/merasa dirugikan oleh anda secara sengaja. Karena
tindak kejahatan bagai NARKOBA, sekali anda mencoba akan membuat anda ingin dan
ingin terus. Lebih sulit lagi untuk merubah diri menjadi orang baik lagi.
JAWABAN NOMOR 10
Menurut pendapat saya
Di Indonesia masih banyak terjadi banyak pelanggaran hukum menurut saya
hal tersebut di sebababkan karena kurang kesadaran antara indiviu mereka masih
meremehkan hukum yang berlaku di Indonesia karena mereka memandang masih banyak
hukum di indinesia ini berlaku tidak adil bahkan sangat tidak adil di lakukan
secara terang terangan mereka berfikir hukum di Indonesia ini dapat di beli
sehingga mereka tidak peduli bahkan tidak mematuhi hukum yang berlaku. Karena
kabanyakan hukum di Indonesia ini hanya berlaku bagi orang yang miskin tidak
punya harta banyak, sedangkan orang yang punya uang banyak hokum tidak terlalu
berlaku bagi mereka karena mereka mampu membeli hukum yang ada dengan uang
mereka, bayangkan jika hukum yang ada di Indonesia ini terus terusan seperti
ini bagaiman jadinya generasi Indonesia jadinya .
Banyak masalah yang di hadapi Negara Indonesia terutama msalah korupsi
yang selalu menjamur di Negara kita ini,telah habis uang rakayat mereka geroti
barulah tenaga hukum Indonesia serti kpk bertindak itu pun hanya bertindak tidak
semaksiamal mungkin mereka,masih ada diantara mereka yang memanipulasi maslah
tersebut demi keuntungan pribadi mereka. Kejadian seperti ini seharusnya di
tanggapi secara maksimal agar Negara kita bebas dari korupsi dan kita semua
hidup aman nyaman dan tentram. Namun hal seperti ini sangta sulit untuk di
atasi karena tingkat keserakahan manusia tidak pernah berkurang bahkan
,meningkat bahkan tidak pernah puas atas apa yang mereka dapatkan sehingga
mereka mengkorbankan masyarakat bawah.
No comments:
Post a Comment